TAHI LALAT
Karya M. Shoim Anwar
ADA tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar
di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin
orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka
menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga
pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang
sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat
kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk
ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.
“Awas,
ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil
mendekatkan telunjuknya ke mulut.
“Di
sebelah mana?” aku mengorek.
“Di
sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.
“Besar?”
“Katanya
sebesar biji randu.”
Mungkin
karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi
kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah
memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi
yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.
Karena
tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang
lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya
aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku
tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol
terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun
bertambah santer.
Suara
truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan
depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku, Laela,
setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak peduli
dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar bareng
dengan mobil pengembang perumahan itu.
“Di
luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek
perumahan,” aku membuka pembicaraan dengan istri.
“Kedekatan
yang gimana lagi?” istriku mendongak.
“Bos
proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah
keluar bareng.”
Bulan
depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak
Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya
meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.
“Ada
unsur politik juga kayaknya,” kataku pada istri.
“Mengapa
istri diikut-ikutkan?” dia mendongak.
“Citra
perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”
“Pak
Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap
dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini.”
“Bisa
jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu.”
“Lo,
Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh
tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.
Pak
Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami
memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya.
Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan
menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan
gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.
Jujur
kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat,
tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan
mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak
Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu
tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin
gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
“Kalau
tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan,” begitulah
kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
“Lama-lama
desa ini habis terjual,” kataku pada Pak Bayan.
“Habis gimana?”
jawab Pak Bayan enteng.
“Bilang
sama Pak Lurah,” aku melanjutkan, “mestinya kehidupan kami diperbaiki agar
makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual
tanahnya kayak kompeni.”
“Kalau
ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja.”
“Jadi
kuli dan babu!” aku menyergah.
Aku
yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu
di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah,
dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka
akan menuding sambil berkata, “Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana
hingga ke sana. Luaaas sekali….”
Semakin
mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri
Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan
tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas
hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.
Aku
yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin
untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam
dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan
sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya.
Kata-kata ‘diam pertanda setuju’ hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan
istrinya serba salah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat
meyakinkan tanpa bukti fisik.
“Apa
tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?” kataku
pada istri.
“Untuk
apa?”
“Menanyakan
kepastian ada tidaknya tahi lalat itu.”
“Terus
kalau tidak ada mau apa?”
“Ya
biar jelas dong,” jawabku pura-pura lega.
“Terus
kalau benar-benar ada?” istriku mengejar lagi.
“Orang-orang
akan puas,” aku bergaya manggut-manggut. “Akhirnya mereka kan
berhenti ngrasani.”
“Ehmm,
untuk apa!” istriku melengos.
Dari
awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar.
Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di
sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar
kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok
sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia
itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah.
Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat
menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.
Siang
yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami
untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku
berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam
berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang
sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak
berkata apa-apa.
Jeep
yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju
terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu
membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi
kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit.
Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu.
Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Sampai
di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep
tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela
pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.
“Gambarku
bagus, ya?” Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.
“Gambar
apa ini?” aku bertanya sambil menerimanya.
“Orang.”
Anak
perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak.
Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah
menyala.
“Ini
orang laki apa perempuan?”
“Perempuan,”
ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya
dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.
“Terus
titik besar berwarna hitam ini apa?”
“Itu
tahi lalat,” jawab anakku enteng.
“Tahi
lalat apa?”
“Tahi
lalat di dada istri Pak Lurah.”
“Haaa…??!!!”
aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling
memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba
menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan
yang hari-hari ini kami dengar.
“Ini
tahi lalat di dada istri Pak Lurah…” kembali anakku menuding gambar yang telah
dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.
2017
Sumber
:
Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen
Cerpen dengan judul Tahi Lalat karya M. Shoim Anwar di atas
menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu tokoh aku yang serba tahu. Tokoh aku
sebenarnya adalah ayah dari Laela. Tokoh yang lainnya yaitu Pak Lurah, Pak Bayan,
Laela, Bakrul, dan Istri dari tokoh aku. Keberadaan istri Pak Lurah hanya
sebagai topik pembicaraan. Tokoh yang ada Cerpen di atas mengandung tema
tentang politik. Latar tempatnya yaitu di Desa, di rumah tokoh aku, dan di tepi
jalan. Kemudian, latar waktunya yaitu siang hari, sedangkan latar suasananya
yaitu menegangkan. Alur yang digunakan yaitu alur campuran. Cerpen tersebut
ditulis oleh M. Shoim Anwar pada tahun 2017.
Isi yang Terkandung dalam Cerpen
Cerpen dengan
judul Tahi Lalat karya M. Shoim Anwar di atas menceritakan tentang seorang
lurah yang mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya dan seorang
perempuan yaitu istri kedua atau istri muda Pak Lurah yang diduga mempunyai hubungan
khusus dengan bos proyek perumahan tanpa sepengetahuan Pak Lurah. Sebenarnya Pak
Lurah sudah mengetahui tentang kabar istrinya tersebut. akan tetepai, Pak Lurah
hanya diam saja.Warga desa juga sering membicarakan hal tersebut.
Warga desa
sudah tidak mempercayai Pak Lurah untuk menjabat kali kedua karena pada masa
jabatannya yang pertama Pak Lurah tidak menepati janjinya. Warga dipaksa untuk
mejual tanahnya. Kemudian, tanah tersebut dibuat perumahan. Apabila warga tidak
mau menjual, maka tanah tersebut tetap dipagari oleh pengembang perumahan atas
sepengetahuan Pak Bayan. Warga menginginkan Pak Lurah untuk menciptakan
lapangan kerja, bukan menjual tanah mereka.
Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen
Makna dan pesan yang terkandung dalam cerpen dengan judul Tahi
Lalat karya M. Shoim Anwar di atas adalah ketika kita menjadi pejabat
pemerintah, apabila diberikan tanggungjawab seharusnya dilakukan dengan baik
dan apabila berjanji harus ditepati. Kemudian, jangan membicarakan hal yang
belum tentu kebenaraannya seperti isu tentang tahi lalat istri Pak Lurah.
Perbandingan dengan Aktual
Cerpen dengan judul Tahi Lalat karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai
dengan kehidupan saat ini. Jika dibandingkan dengan pesan pertama yang ada pada
isi cerpen tersebut, pada saat ini juga ada pejabat yang kurang
bertanggungjawab atas tugasnya, sehingga membuat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Selain itu, pejabat tersebut juga tidak menepati janji pada saat pemilihan
umum. Warga yang dipaksa untuk mejual tanahnya juga sesuai dengan kenyataan
saat ini. Saat ini banyak sawah milik warga yang dijual dan dibangunlah sebuah
perumahan. Bahkan, tidak hanya bisnis perumahan, tetapi juga tanah kaplingan juga
telah menjamur diberbagai wilayah di Indonesia. Warga pun mejadi tergiur karen
a diiming-imingi harga yang lumayan mahal. Namun, tidak sedikit warga yang sebenarnya
tidak mau tanahnya dijual tetapi mereka harus merelakan dengan rasa terpaksa.