Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

Archive for Mei 2021

KRITIK PUISI " SAJAK PALSU"


.

 

SAJAK PALSU


Karya Agus R. Sarjono

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998

 

Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Bentuk puisi Sajak Palsu di atas hanya terdiri dari satu bait. Dimana dalam bait tersebut terdapat tiga puluh tujuh baris. Setiap baris saling terhubung satu sama lain. Tanda baca titik diletakkan ditengah-tengah baris sehingga ketika puisi tersebut di baca, harus menempatkan jeda dengan tepat. Bahasa yang digunakan Agus R. Sarjono sangat mudah untuk dipahami oleh pembaca dalam memaknainya. Bahasa yang digunakan cenderung bahasa sehari-hari dengan dihiasi sedikit kata-kata kiasan untuk memperindah puisi Sajak Palsu tersebut. Agus R. Sarjono membuat puisi tersebut pada tahun 1998. Unsur politik dan ekonomi sangat kental ditampilkan oleh Agus R. Sarjono.

 

Makna dan Isi Puisi

Puisi dengan judul Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono di atas membahas tentang sikap kejujuran yang sangat penting ditanamkan kepada anak sejak kecil agar ketika besar dan bekerja mempunyai kelakuan dan sifat yang baik. Agus R. Sarjono juga menggambarkan bahwa kepalsuan telah melekat pada saat anak masih bersekolah. Contoh hasil ketidakjujuran adalah nilai yang mereka dapatkan. Ketika nilai yang diperoleh kurang, orang tua justru memberikan sogokan kepada Bapak atau Ibu guru untuk mengubah nilai anak tersebut. Hal ini sesuai dengan bunyi sebagai berikut.

Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru.

Perlakuan yang ditunjukan orang tua anak tersebut dan gurunya merupakan contoh yang tidak baik. Secara tidak langsung, mereka mengajarkan anak untuk bersikap tidak jujur, sehingga ketika anak tersebut sudah besar dan bekerja, sifat tidak jujur akan terus terbawa. Generasi yang dicetak dengan cara demikian, membuat masa depan suatu negara dan masa depan anak itu sendiri menjadi memprihatinkan. Apalagi, ketika anak tersebut bekerja di lingkungan pemerintah, yang akhirnya membuat kerugian negara dan dampaknya mengenai seluruh rakyat. Hal ini nampak pada ktipan puisi di bawah ini.

Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

Dengan demikian, lingkungan pertama yaitu keluarga dan lingkungan kedua adalah sekolah sangat berperan penting dalam mencetak generasi yang unggul dan mempunyai sikap yang sesuai dengan norma dalam masyarakat.

 

Pesan yang Terkandung dalam Puisi

Pesan yang terkandung dalam puisi Agus. R. Sarjono yang berjudul Sajak Palsu di atas adalah.

1.    Untuk orang tua, sebaiknya anak diajarkan sifat kejujuran sejak mereka kecil.

2.    Untuk Bapak atau Ibu guru, bersikaplah jujur dalam mengemban tugas yang telah diberikan dan janganlah memberikan contoh yang tidak baik kepada anak didik.

3.    Untuk semua anak-anak, biasakan untuk bersikap jujur dalam melakukan segala hal.

 

Perbandingan dengan Aktual

Puisi Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono di atas masih sesuai dengan kehidupan sekarang. Penanaman sikap jujur sangat perlu diperhatikan sejak anak masih kecil. Di lingkungan sekolah, kejadian seperti yang ditampilkan pada puisi di atas masih terjadi. Dalam berpolitik dan berekonomi juga masih ditemukan. Contoh dalam lingkungan politik adalah korupsi dan dalam berekonomi seperti, memperdagangkan barang palsu. Dengan demikian, sikap ketidakjujuran masih meraja lela di negara kita, sehingga diharapkan dengan adanya pendidikan diharapkan generasi yang akan datang memiliki sikap yang berbudi luhur dan dapat dipercaya dengan kejujurannya.

KRITIK PUISI "PERINGATAN" DAN " DI BAWAH SELIMUT KEDAMAIAN PALSU"


.

 PERINGATAN
Karya Wiji Thukul


Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat marah

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalah sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!


DI BAWAH SELIMUT KEDAMAIAN PALSU

Karya Wiji Thukul

Apa guna punya ilmu

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa gunanya banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu


Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Puisi dengan judul Peringatan karya Wiji Thukul mempunyai tujuh belas baris dan puisi kedua yang berjudul Dibawah Selimut Kedamaian Yang Palsu terdiri atas enam belas baris. Terdapat pengulangan bunyi apa guna sebanyak tiga kali pada bait kedua baris  kedua, keempat, dan kelima belas. Bunyi kalau mulut kau bungkam melulu juga terulang sebanyak dua kali yaitu pada bait kedua, baris kelima dan baris keenam belas. Pengulangan bunyi pada puisi Peringatan mengisyaratkan penegasan atas pesan yang ingin disampaikan Wiji Thukul kepada pembaca. Bunyi tapi juga diulang sebanyak empat kali pada bait kedua, baris ketiga belas. Bunyi tapi tersebut membuat variasi ketika puisi dibaca. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan penulis mudah dimengerti oleh pembaca. Wiji Thukul tidak membubuhkan kata kiasan yang terlalu banyak, sehingga orang awam pun dapat memahami dengan mudah isi pesan dan makna yang terkandung dalam puisi di atas. Namun, ada beberapa kata istilah yang tidak umum, seperti kata subversif pada baris keenam belas dan kata gasat pada baris kesepuluh di bait pertama.


Makna dan Isi Puisi

Sesuai dengan judulnya, puisi dengan judul Peringatan karya Wiji Thukul di atas berisi peringatan yang disampaikan rakyat kepada pemerintah. Peringatan tersebut berisi tentang hak rakyat untuk menyampaikan pendapatnya. Hal ini tertuang dalam bait pertama, baris kedelapan yang ditandai oleh bunyi Penguasa harus waspada dan belajar mendengar. Penguasa yang dimaksud adalah pemerintah. Pada bait pertama juga menjelaskan bahwa keluhan yang ingin disampaikan oleh rakyat harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Yang artinya, pemerintah harus menerima kritikan yang disampaikan rakyatnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Pada bait pertama disebutan pemerintah tidak mau di kritik karena alasan mengganggu keamanan, sehingga rakyat pun memberontak dengan mengatakan lawan! pada baris ketujuh belas.

Pada puisi kedua yang berjudul Dibawah Selimut Kedamaian Palsu, Wiji Thukul juga menegaskan kembali bahwa sebagai seorang pemimpin yang pintar, seharusnya dapat mengayomi rakyatnya. Hal ini sesuai bunyi Apa guna banyak baca buku, Kalau mulut kau bungkam melulu. Ketika rakyat tidak diperbolehkan berpendapat, pemerintah bekerjasama dengan pihak keamanan. Dalam puisi disebutkan Di mana-mana moncong senjata, Berdiri gagah. Selain itu, pemerintah seharusnya bertindak jujur atas tanggungjawabnya sebagai pemimpin.  Namun, pada kenyataannya, Wiji Thukul menjelaskam bahwa rakyat dipaksa untuk menjual tanahnya yang ada di desa.


Pesan yang Terkandung dalam Puisi

Pesan yang ingin disampaikan Wiji Thukul kepada pembaca pada kedua puisi di atas ditujukan kepada pemerintah.

1. Sebagai negara yang demokratis, sudah seharusnya pemerintah menerima kritik dari masyarakat karena itu sangat penting untuk perkembangan dalam membangun pemerintahannya menjadi lebih baik lagi.

2. Selain itu, pemerintah juga harus bertindak jujur dalam mengemban tanggungjawabnya yang telah diberikan oleh rakyat.


Perbandingan dengan Aktual

Kedua puisi karya Wiji Thukul di atas masih dapat diterima dan sesuai dengan keadaaan pada masa sekarang. Saat ini, undang-undang tentang ITE menjadi salah satu penghalang masyarakat dalam menyampaikan krtik dan sarannya. Namun, semua tidak melulu menjadi kesalahan pemerintah. Asalkan, dalam berpendapat masyarakat dapat mengolah kata dengan baik, sopan, dan tidak membuat orang lain tersinggung. Pada zaman pemerintah orde lama, hal ini juga terjadi, sampai-sampai masyarakat yang melawan pemerintah akan ditangkap. Wiji Thukul adalah salah satu orang yang memperjuangkan orde baru, sehingga pantas saja puisi dengan judul Peringatan ini diciptakan dengan gambaran kejadian pada saat itu. Perkembangan IPTEK saat ini seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik dalam pelaksanaan pemerintahan. 


KRITIK PUISI "IDUL FITRI"


.

 Idul Fitri

Karya Sutadji Calzoum Bachri

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana


Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Puisi dengan judul Idul Fitri karya Sutadji Calzoum Bachri di atas hanya terdiri dari satu bait yang begitu panjang. Panjang baris berjumlah empat puluh empat baris. Pada baris keempat, kelima, keenam, dan ketujuh terdapat pengulangan bunyi telah ku.... sebanyak empat kali pada awal kalimat. Pengulangan bunyi juga terjadi pada baris ketiga puluh delapan, ketiga puluh sembilan, dan keempat puluh sebanyak tiga kali yaitu bunyi aku.... Ada pula pengulangan bunyi secara penuh dalam satu baris yaitu bunyi Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir pada baris kedua puluh delapan dan baris ketiga puluh empat. Pengulangan buny secara penuh juga terdapat bada bunyi tempat .... menenggak arak di warung dunia pada baris kedua puluh sembilan dan baris ke tiga puluh lima.

Penulis juga menambahkan bahasa arab di dalam puisinya yaitu pada bunyi la ilaha illAllah pada baris ketiga puluh tujuh dan pada bunyi sirathal mustaqim pada baris ketiga puluh delapan. Hal ini membuat puisi Idul Fitri karya Sutadji Calzoum Bachri nampak agamis, sesuai dengan tema yang diambil. Gaya bahasa yang digunakan juga mudah untuk dipahami oleh pembaca. Terdapat majas hiperbola pada baris kedua yang berbunyi Pedang tobat ini menebas-nebas hati, pada baris ketiga puluh dua yang berbunyi Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu, dan pada baris keempat puluh yang berbunyi Aku bawa masjid dalam diriku.


Makna dan Isi Puisi

Puisi yang berjudul Idul Fitri di atas menceritakan tentang penyesalan yang di alami oleh tokoh aku. Tokoh aku di sini ingin bertobat ke jalan yang benar. Kesungguhan itu nampak ketika tokoh aku menjalankan kewajibannya sebagai umat manusia kepada Tuhannya. Tokoh aku menjalankan puasa, sholat malam, serta wirid siang dan malam. Hal ini sesuai dengan bunyi puisi pada baris keempat hingga ketujuh. Bahkan, pada baris kesepuluh, tokoh aku mempunyai keinginan untuk mendapatkan  keberkahan dari malam Lailatul Qodar. Pada bulan ramadhan, tokoh aku menjalankan semua kewajiban. Hingga tiba di hari idul fitti, tokoh aku juga mengikuti sholat id. Tokoh aku menyadari bahwa yang selama ini ia lakukan seperti mabuk-mabukan adalah tidak benar. Tokoh aku mempunyai keinginan kepada Tuhannya agar dirinya dapat beristiqomah menjalankan semua kewajibannya sebagai umat manusia yang baik dan taat.


Pesan Puisi

Pesan yang ingin disampaikan pada puisi di atas adalah sebagai umat manusia yang taat kepada Tuhannya, sebaiknya selalu menjalankan semua kewajiban. Pesan yang lain yaitu seseorang yang mempunyai masa lalu tidak baik, tidak selamanya menjadi orang yang tidak baik. Akan tetapi, mereka dapat berubah menjadi lebih baik lagi.


Perbandingan dengan Aktual

Jika dibandingkan dengan aktual, puisi dengan judul Idul Fitri karya Sutadji Calzoum Bachri di atas sesuai dengan keadaan di bulan ramadhan. Banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan berkah dari malam Lailatul Qodar. Mereka menjalankan puasa, sholat lima waktu serta sholat malam, dan tidak lupa berdzikir. Kemudian, saat dipenghujung bulan ramadhan, banyak orang menjalankan sholat id di masjid.


KRITIK PUISI "HANTU KOLAM", "HANTU MUSIM", DAN "HANTU DERMAGA"


.

 

KRITIK PUISI

KARYA MASHURI

 

Berikut ini adalah kritik puisi pada tiga judul puisi yang berbeda dan saling berkaitan karya Mashuri.


Hantu Kolam

                                                                

: plung!

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

 

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama

 

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…

 

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

 

Banyuwangi, 2012-12-03


Hantu Musim

 

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa

 

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

 

di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…

 

Magelang, 2012


Hantu Dermaga

 

mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

 

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali

 

Sidoarjo, 2012

Sumber : https://puisikompas.wordpress.com/tag/mashuri/


Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Puisi pertama, dengan judul Hantu Kolam karya Mashuri di atas terdiri dari enam bait. Pada bait pertama dan kelima hanya ada satu baris dengan bunyi yang sama yaitu plung. Pada bait kedua terdiri atas tiga baris. Kemudian, bait ketiga berisi tujuh baris, bait keempat ada enam baris, dan bait terakhir yaitu bait keenam ada lima baris. Sehingga, jumlah baris dalam puisi Hantu Kolam di atas dua puluh tiga baris. Puisi tersebut dibuat di Banyuwangi pada tanggal 12 Maret 2012. Puisi Hantu Kolam sangat menarik untuk dibaca. Isi puisi dikemas dengan menggunakan gaya bahasa yang dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Majas hiperbola dan Simile ditemukan pada baris yang berbunyi sebagai berikut.

Hiperbola:               

· bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap (bait ketiga, baris kedua)

· aku terkubur sendiri di bawah timbunan (bait keempat, baris ketiga dan keempat)
rembulan

· aku hanya melihat wajah sendiri, berserak (bait keenam, baris kelima)

Simile:

· serupa serdadu lari dari perang (bait kedua, baris kedua)

· segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai (bait keempat, baris kesatu dan kedua)
matahari

Selain majas hiperbola, dalam puisi Hantu Kolam juga ditemukan majas personifikasi  dan majas simbolik berikut ini.

Personifikasi:

            ·  mataku berenang (bait ketiga, baris pertama)

            ·  kerna kini kolam tak beriak (bait keenam, baris keempat)

Simbolik:

·  tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu (bait keenam, baris kedua)

Puisi kedua berjudul Hantu Musim terdiri atas tiga bait. Bait pertama memiliki tujuh baris, bait kedua memiliki lima baris, dan bait ketiga tedapat tujuh baris. Total baris keseluruhan pada puisi Hantu Musim adalah sembilan belas baris. Puisi tersebut dibuat di Magelang pada tahun 2012. Terdapat pengulangan bunyi yang kelak kita sebut sebanyak dua kali pada bait pertama, baris keempat dan bait kedua, baris ketiga. Peletakan kalimat selalu terpotong dari baris pertama dan menyambung dengan baris selanjutnya. Hal ini membuat pembaca bingung dalam menjeda pada saat membaca. Namun, gaya bahasa pada puisi kedua ini juga sangat menarik. Salah satu majas yang dapat ditemukan adalah majas simile yang berbunyi sebagai berikut.

·  aku hanya musim yang dikirim rebah hutan (bait pertama, baris pertama)

·  bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular (bait kedua, baris pertama)

·  sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
(bait ketiga, baris kedua dan ketiga).

Selain majas simile, juga ditemukan majas simbolik pada Puisi Hantu Musim di atas.

· itu tak lebih hanya mengenal kembali peta (bait pertama, baris keenam dan ketujuh)
lama, yang pernah tergurat berjuta masa

· pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu (bait kedua, baris keempat dan kelima)
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

· di telaga, tetapi bayangannya selalu (bait ketiga, baris ketiga dan keempat)
mengirimkan warna sayu, kelabu

Pada puisi ketiga yang berjudul Hantu Dermaga hanya terdiri dua bait. Pada bait pertama terdapat dua belas baris dan pada bait kedua terdiri atas delapan baris. Sehingga, jumlah baris keseluruhan adalah dua puluh baris. Puisi tersebut di tulis di Sidoarjo pada tahun 2012. Sama halnya seperti puisi yang kedua, pada puisi yang ketiga ini dalam peletakan kalimat juga terpotong atau tepisah dan dilanjutkan pada baris berikutnya. Puisi Hantu Dermaga mempunyai beberapa majas didalamnya yang dapat dilihat di bawah ini.

Simile:

· ia serupa pendulum (bait pertama, baris keenam, ketujuh, dan kedelapan)
yang dikulum cenayang
dermaga

· ia hanya titik imaji (bait pertama, baris kesembilan dan kesepuluh)
dari hujan yang berhenti

· bak hujan yang kembali (bait kedua, baris kelima)

Paradoks:

· kisah itu tak sekedar mantram (bait pertama, baris keempat)

· dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar (bait pertama, baris kelima dan keenam)

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini

 

Makna dan Isi Puisi

Ketiga puisi di atas mengisahkan tentang kisah cinta yang dialami oleh tokoh aku. Kata hantu dalam judul puisi merupakan sesuatu yang selalu membayangi dan mengganggu fikiran tokoh aku. Sesuatu hal yang membayangi tokoh aku adalah kenangan yang ia lalui bersama kekasihnya. Ketiga puisi di atas saling berkaitan satu sama lain, sehingga apabila pembaca ingin tahu kelanjutan isi dan makna secara keseluruhan, maka pembaca harus membaca ketiga puisi tersebut.

Pada puisi pertama dengan judul Hantu Kolam, kata kolam diambil karena tokoh aku menjelaskan keadaannya yang dilanda kesepian atau kesunyian dengan berkaca di kolam. Tokoh aku tidak dapat melupakan kenangannya yang ditandai dengan kata terperangkap dan terkubur pada bunyi baris puisi di bawah ini.

· bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap

· aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…

Pada puisi kedua yang berjudul Hantu Musim, kata musim dipakai untuk menjelaskan bahwa tokoh aku tetap mengingat kekasihnya meskipun musim terus berganti. Tokoh aku sebenarnya ingin kembali mengulang kisah cintanya dengan kekasihnya. Namun, hal itu tidak bisa. Tokoh aku dapat mengenal dan belajar tentang berbagai hal ketika ia bersama kekasihnya tersebut yang terlihat pada potongan puisi di bawah ini.

pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

Kemudian, pada puisi ketiga yang berjudul Hantu Dermaga, kata dermaga menggambarkan bahwa kisah cinta tokoh aku dan kekasihnya tidak dapat dipisahkan meskipun terpisah oleh kematian. Hal ini ditandai oleh potongan puisi di bawah ini.

serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

 

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua

 

Perbandingan dengan Aktual Ketiga Judul Puisi

Ketiga puisi karya Mashuri di atas masih sesuai dengan keadaan masa kini. Isi dan makna yang tekandung di dalamnya sering kali di alami oleh anak muda. Kegalauan dapat mereka rasakan ketika mereka ditinggal oleh kekasihnya. Hal ini karena mereka tidak dapat melupakan kenangan masa lalu bersama kekasihnya. Namun, karena mereka masih muda cinta mereka sering kali hanya disebut sebagai cinta monyet. Dalam puisi Hantu Dermaga diseutkan bahwa kisah cinta tokoh aku kekal. Hal tersebut juga dapat ditemui pada masa sekarang. Contohnya saja kisah cinta Bapak B.J. Habibie dan Ibu Ainun, istrinya. Kisah mereka begitu terkenal hingga saat ini. Mereka saling mencintai hingga akhir hayat. Terdapat berbagai pelajaran yang dapat diambil dari kisah cinta mereka berdua. Salah satu yang dapat ditiru adalah Bapak B.J Habibie tetap setia pada satu wanita, meskipun Bapak B.J Habibie ditinggal Ibu Ainun meninggal terlebih dulu.