Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

Archive for Maret 2021

KRITIK PUISI " ULAMA ABIYASA TAK PERNAH MINTA JATAH"


.

 
“Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah"


Karya M. Shoim Anwar

Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

 

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

marwah digenggam hingga ke dada

tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

senyumnya merasuk hingga ke sukma

langkahnya menjadi panutan bijaksana

kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

 

Ulama Abiyasa bertitah

para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

menjadikannya sebagai pengumpul suara

atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

agar tampak sebagai barisan ulama

Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

datanglah jika ingin menghaturkan sembah

semua diterima dengan senyum mempesona

jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

sebab ia lurus apa adanya

mintalah arah dan jalan sebagai amanah

bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

tapi dilaksanakan sepenuh langkah

Penghujung Desember 2020

 

                       Desember 2020

 

Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Puisi karya M. Shoim Anwar dengan judul Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah menceritakan tentang Ulama Abiyasa yang menjadi panutan karena mempunyai sifat yang jujur, bertanggungjawab, apa adanya, dan mempunyai tutur kata yang santun. Berdasarkan bentuk puisinya, puisi di atas terdiri dari tiga bait. Setiap bait mempunyai jumlah baris yang berbeda. Bait pertama, terdiri atas 8 baris, bait kedua, mempunyai 6 baris, dan bait ketiga terdiri dari 16 baris. Jadi, jumlah baris secara keseluruhan dalam puisi Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah adalah 30 baris. Pada bait pertama, baris keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan terdapat pengulangan bunyi tak pernah pada awal kalimat sebanyak empat kali. Bunyi Ulama Abiyasa juga diulangi sebanyak tiga kali pada setiap awal bait. Puisi Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah ditulis pada akhir bulan Desember tahun 2020.

 

Makna Puisi Per-Bait

Bait Pertama

Baris pertama dan kedua menjelaskan bahwa di awal kisah, Ulama Abiyasa adalah contoh para rakyat kecil. Kata cagak yang tegak pada baris ketiga adalah simbol penopang, yang artinya, Ulama Abiyasa adalah seseorang yang kuat, yang tahan dalam mengahadapi segala hal.

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

Pada baris keempat sampai ke delapan mempunyai makna bahwa Ulama Abiyasa tidak tergoda dengan jabatan dan kemegahan dunia. Dia tidak meminta-minta untuk memperoleh imbalan dalam menjalankan kewajibannya. Dia jujur dan bertanggungjawab. Apabila, diacam oleh orang yang iri dengannya, ia tetap pada pendiriannya. Apabila, diberikan uang sogokan, dia tidak menerimanya. Dengan demikian, inti dari bait pertama yaitu Ulama Abiyasa adalah orang yang berbudi luhur, jujur, tanggungjawab, dan apa adanya.

Bait Kedua

Pada bait kedua, baris pertama kalimat merengkuh teguh hati dan lidah mempunyai makna bahwa Ulama Abiyasa selalu menjaga hati dan lidahnya dalam perbuatan maupun perkataan. Pada baris kedua, kata marwah adalah simbol kehormatan diri sehingga baris kedua mempunyai arti bahwa Ulama Abiyasa selalu menjaga kehormatannya, harga dirinya atau nama baiknya. Bunyi tuturnya indah menyemaikan aroma bunga pada baris ketiga mempunyai makna bahwa tutur kata atau ucapan Ulama Abiyasa santun, sehingga membuat hati pendengarnya senang. Kata Indah adalah simbol kesantunan dan kata bunga merupakan simbol senang. Pada baris keempat, bunyi senyumnya merasuk hingga ke sukma menandakan bahwa wajah Ulama Abiyasa sangat manis, sehingga senyumannya membuat orang yang melihatnya menjadi terbayang-bayang. Baris kelima, bunyi langkahnya menjadi panutan bijaksana mempunyai arti bahwa Ulama Abiyasa selalu berhati-hati dalam berperilaku, sehingga ia mampu menjadi teladan. Kata langkah adalah simbol perbuatan atau perilaku. Pada baris terakhir yaitu baris keenam, kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata bermakna bahwa Ulama Abiyasa selalu menjaga kehormatannya, menjaga nama baiknya tanpa ada kejelekan sedikitpun. Maksudnya,  Ulama Abiyasa tidak pernah melakukan kekerasan atau tindakan yang tidak baik agar kehormatannya tetap terjaga.

Bait Ketiga

Pada bait ketiga, menjelaskan perkataan Ulama Abiyasa tentang para raja dan penguasa. Bunyi bertita artinya berkata. Baris kedua, ketiga, keempat, dan kelima mempunyai makna bahwa para raja dan penguasa sangat menghormati Ulama Abiyasa sehingga tidak ada yang berani untuk meminta bantuannya untuk mengumpulkan para pendukung agar raja dan penguasa dapat menjadi seorang pemimpin. Kalimat didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa adalah simbol menjadi seorang pemimpin. Pada baris keenam, ketujuh, dan kedelapan menjelaskan bahwa Ulama Abiyasa tidak mau jika diberikan sogokan. Hal ini terbukti pada simbol bunyi diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah.

Kemudian, pada baris kesembilan Ulama Abiyasa meminta agar para raja dan penguasa agar datang kepadanya hanya untuk memberikan hormat padanya. Hal itu, sudah membuat Ulama Abiyasa menerima yang tertuang pada bunyi semua diterima dengan senyum mempesona. Pada baris kesebelas dan dua belas, Ulama Abiyasa mengatakan bahwa dirinya tidak suka apabila para raja dan penguasa datang untuk meminta dirinya memberikan solusi tetapi dengan jalan yang tidak benar yaitu dengan mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ulama Abiyasa orangnya apa adanya, tidak mau apabila diminta dengan tujuan yang tidak baik. Hal tersebut terdapat pada bunyi jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena, sebab ia lurus apa adanya. Pada baris ketiga belas, empat belas, dan lima belas, Ulama Abisaya memerintahkan agar para raja dan para penguasa datang kepadanya untuk meminta diberikan solusi yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan solusi yang membujuk dan menipu rakyat. Pada baris yang terakhir yaitu baris keenam belas dijelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi  pada akhir bulan Desember 2020. Dengan demikian, Ulama Abiyasa merupakan orang yang ikhlas membantu seseorang. Ia mengerjakan tanpa ada rasa pamrih dan tanpa meminta imbalan atau balasan.

 


Perbandingan dengan Aktual

Puisi karya M. Shoim Anwar dengan judul Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Dalam puisi tersebut dijelaskan bahwa Ulama Abiyasa merupakan orang yang menjadi panutan karena mempunyai sifat yang jujur, bertanggungjawab, apa adanya, dan mempunyai tutur kata yang santun. Jika dibandingkan dengan kehidupan saat ini, masih ada orang yang mempunyai sifat seperti Ulama Abiyasa, tetapi tidak banyak, hanya segelintir orang. Pada puisi tersebut juga dijelaskan bahwa para penguasa datang ke Ulama Abiyasa dengan tujuan untuk meminta bantuan tetapi Ulama Abiyasa tidak suka karena mereka membawa sesuatu sebagai imbalan. Ulama Abiyasa ikhlas membantu mereka. Pada kenyataannya, masih banyak pemimpin negara yang mempunyai sikap seperti para penguasa tersebut. Agar memperoleh jabatan, mereka tidak segan untuk meminta bantuan kepada orang pintar atau seoarang ulama. Hal itu dilakukan semata-mata dengan tujuan untuk memperoleh suara atau dukungan yang banyak dari rakyat dalam pemilihan umum karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama islam. Berkebalikan dengan sikap Ulama Abiyasa yang ikhlas membantu. Ulama yang membantu tersebut saat ini justru melakukan untuk memperoleh imbalan, baik berupa uang maupun diberikan jabatan.

 

KRITIK PUISI “ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA”


.

 

“Ulama Durna Ngesot ke Istana”



Karya M. Shoim Anwar


Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

                                                   Desember 2020

 

Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Puisi karya M. Shoim Anwar dengan judul Ulama Durna Ngesot Ke Istana menceritakan tentang Ulama Durna yang ingin mendapatkan kekuasaan. Berdasarkan bentuknya, puisi Ulama Durna Ngesot Ke Istana terdiri dari empat bait. Setiap bait terdiri dari beberapa baris yang berbeda. Secara keseluruhan, baris pada puisi di atas adalah 7-8-10-12. Jadi, jumlah baris pada puisi di atas adalah 37 baris. Jika diperhatikan dengan seksama, puisi di atas mempunyai rima akhir dengan bunyi yang sama yaitu A. Kemudian, setiap bait pada baris pertama mempunyai bunyi yang sama yaitu Lihatlah yang diulang hingga empat kali. Pengulangan bunyi puisi juga terjadi pada bunyi ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana. Pengulangan bunyi tersebut terjadi pada bait pertama baris ketiga, bait kedua baris ketiga, dan bait keempat baris kedua. Puisi di atas sebenarnya menggambarkan kehidupan penguasa pada cerita pewayangan. Puisi karya M. Shoim Anwar tersebut dibuat pada Desember tahun 2020.

 

Makna Puisi Pada Per-Bait

Bait pertama

Pada baris pertama dan kedua, kehidupan di dunia disimbolkan dengan panggung di negeri sandiwara. Hal ini mempunyai arti bahwa manusia di dunia hanya sebagai pemeran sesuai dengan cerita yang ditakdirkan oleh Tuhan. Pada baris pertama, kita diperintahkan untuk memperhatikan hal itu dan menyadarinya. Kemudian, pada baris ke tiga, Ulama Durna adalah simbol bahwa tidak semua orang yang beriman dan ahli yang berperan sebagai orang kepercayaan pemimpin mempunyai sifat yang baik. Durna mempunyai arti orang yang mempunyai sifat licik, suka mengadu domba, menghasut, serta memfitnah. Bahkan pada baris ke empat, dijelaskan bahwa orang diberi kepercayaan oleh pemimpin suka mencari muka atau suka diberikan pujian dan balasan yang artinya orang tersebut jika mengerjakan sesuatu minta diberikan imbalan. Hal ini ditandai dengan simbol menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah. Remah-remah adalah simbol dari pujian dan balasan itu sendiri sedangkan pantat raja adalah simbol sikap atau perlakukan orang diberi kepercayaan oleh pemimpin agar mendapatkan pujian dan balasan. Lalu, pada baris kelima, keenam, dan ketujuh mempunyai makna bahwa orang diberi kepercayaan oleh pemimpin ketika mendapatkan pujian dan balasan menjadi sombong. Kemudian, menambah omongan agar semua kelakukannya dibenarkan. Dengan demikian,  bait pertama mempunyai makna bahwa semua yang hidup di dunia ini telah diatur oleh Tuhan dan apabila diberikan kepercayaan janganlah bersikap sombong, menjual kata-kata agar mendapatkan pujian dan balasan.


Bait kedua

Pada bait kedua baris pertama dan kedua, kita masih diperintahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna yang datang ke istana. Kedatangan Ulama Durna ke istana untuk menyerahkan marwah. Marwah mempunyai arti harga diri atau nama baik. Kemudian, pada baris keempat disebutkan sengkuni beserta pengikutnya yang berada diluar istana. Dalam cerita pewayangan, Sengkuni mempunyai sifat antagonis yaitu suka memprovokatori, licik, dan penuh tipu muslihat. Pada baris kelima, disebutkan bahwa Sengkuni dan pengikutnya menyombongkan diri dengan merasa yang paling gagah dan berlindung dibalik penguasa. Kemudian, pada baris keenam, ketujuh, dan kedelapan dijelaskan bahwa Sengkuni menunggang banteng bermata merah dengan mengacungkan senjata berupa arit dan memutuskan kesalahan dan memasukan orang-orang ke penjara. Banteng bermata merah adalah simbol kemarahan.

Bait Ketiga

Masih sama dengan bait pertama dan kedua, pada baris pertama bait ketiga kita juga diperintahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna. Pada baris kedua, disebutkan bahwa Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa. Berdagang mantra berbusa-busa mempunyai arti bahwa Ulama Durma mempunyai sifat suka ngomong kesana-kesini. Kemudian, pada baris ketiga omongan Ulama Durna tersebut membuat baratayuda marah. Hal ini disimbolkan dengan bunyi menyulut api. Sehingga, pada baris keempat para pengikutnya menjadi lupa diri atas keberhasilan rencananya. Pada baris kelima dan keenam, aturan yang dulu diciptakan oleh penguasa yang sebelumnya telah dihancurkan. Hal ini disebabkan karena keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dunia yang disebutkan pada baris ketujuh. Kemudian, mereka menghalalkan segala cara dengan merasa bahwa dirinya yang paling benar. Pada baris kedelapan, para begundal merupakan simbol orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan, sedangkan dewa-dewa adalah simbol kebenaran. Lalu, pada baris kesembilan, orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan menyalahkan rakyat kecil yang disimbolkan dengan kawula. Pada baris kesepuluh, orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan diibaratkan seperti dunia hendak diuntal mentah-mentah yang berarti bahwa mereka menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaan.

 

Bait Keempat

Pada bait terakhir, baris pertama dan kedua masih memeritahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna yang mengharapkan kekuasaan dengan disimbolkan ngesot ke istana. Kemudian, pada baris ketiga dan keempat, disebutkan bahwa dalam akhir merebutkan tahta di padang kurusetra, Ulama Durna diumpankan sebagai raja ke medan laga yaitu sebagai sasaran yang dikorbankan.

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

Pada penggalan puisi di atas, mempunyai makna bahwa ada kabar yang mengejutkan tentang Ulama Durna. Kegagahan yang dulu dibanggakan Ulama Durma telah hilang. Anak hasil perzinahannya meninggal di medan peperangan. Ulama Durna merasa sedih dan tertunduk di atas tanah. Ia merasa bahwa hidupnya sudah berakhir. Durna baru menyadari bahwa kematian anaknya merupakan balasan dari apa yang dilakukan selama ini dalam baratayuda.

 

Perbandingan dengan Aktual

Apabila dibandingkan dengan zaman sekarang, puisi dengan judul Ulama Durna Ngesot Ke Istana karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Dalam merebutkan kekuasaan, dilakukan secara terang-terangan tanpa memikirkan dampaknya, yang penting memperoleh kekuasaan. Pada zaman sekarang, masih banyak orang yang ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Contohnya saja ketika pemilihan umum. Beberapa orang memilih memberikan uang sogokan untuk memperoleh suara yang lebih tinggi dari lawannya. Hal ini merupakan salah satu cara yang dihalalkan untuk memperoleh kekuasaan. Meskipun ada pihak yang bertugas untuk mengamankan orang yang bertindak jujur tersebut, mereka tetap saja melakukan hal yang tidak terpuji.

KRITIK PUISI "DURSASANA PELIHARAAN ISTANA"


.

   "Dursasana Peliharaan Istana"


Karya M. Shoim Anwar


Dursasana adalah durjana peliharaan istana
Tingkahnya tak megenal sendi-sendi susila
Saat masalah menggelayuti tubuh negara
Cara terhormat untuk mengurai tak ditemukan jua
Suara para kawula melesat-lesat bak anak panah
Suasana kelam bisa meruntuhkan penguasa
Jalan pintas pun digelindingkan roda-roda gila
Dursasana diselundupkan untuk memperkeruh suasana
Kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah
Atau melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima
Lalu istana punya alasan menangkapi mereka
Akal-akalan purba yang telanjang menggurita saat panji-panji negara menjadi slogan semata
Para ulama yang bersila di samping raja
Menjadi penjilat yang paling setia
Sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya
 
Lihatlah dursasana
Di depan raja dan penjabat istana
Lagak polahnya seperti paling gagah
Seakan hulubalang paling digdaya
Memamerkan segala kebengalannya
Mulut lebar berbusa-busa
Bau busuk berlompatan ke udara
Tak bisa berdiri tenang atau bersila sahaja
Seperti ada kalajengking mengeram pantatnya
Meracau mengumbar kata-kata
Raja manggut-manggut melihat dursasana
Teringat ulahnya saat menistakan wanita
Pada perjudian mencurangi tahta
Sambil berpikir memberi tugas selanjutnya
 
Apa gunanya raja dan pejabat istana
Jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina
Merendahkan martabat para anutan kawula
Menista agama dan keyakinan para jamaah
Dursasana dibayar dari pajak kawula dan utang negara
Akal sehat tersesat di selokan belantara
Otaknya jadi sebatas di siku paha
Digantikan syahwat kuasa menyala-nyala
Melupa sumpah yang pernah diujarnya
Para penjilat berpesta pora
Meyesapi cucuran keringat para kawula
 
Apa gunanya  raja dan penjabat istana
Jika tak mampu menjaga citra negara
Menyewa dursasana untuk meenggelamkan kawula
Memotong lidah dan menyerukkan ke jeruji penjara
Berlagak seperti tak tahu apa-apa
Meyembunyikan tangan usai melempar bara
Ketika angkara ditebar dursasana
Dibiarkan jadi gerakan bawah tanah
Tak tersentuh hukum karma berlindung di ketiak istana
 
Dursasana yang jumawa
Di babak akhir baratayuda
Masih juga hendak membunuh bayi tak berdosa
Lalu pada wanita yang pernah dinista kehormatannya
Ditelanjangi dari kain penutup tubuh terhormatnya
Ingatlah, sang putra memendam luka membara
Dia bersumpah akan memenggal leher dursasana hingga patah
Menutup darahnya hinggga tehisap sempurna
Lalu si ibunya yang tlah dinista martabatnya
Hari itu melunasi janjinya: keramas dengan darah dursasana
 
Surabaya, 2021


Siapakah Dursasana ?

Dalam pewayangan atau cerita Mahabarata, Dursasana adalah salah satu tokoh yang mempunyai sifat antagonis. Dursasana adalah adik kedua dari Duryudhana yang paling disayang Duryudhana. Istri Dursasana bernama Dewi Saltani. Dursasana dan istrinya mempunyai seorang putra bernama Dursala. Dursala mempunyai kekuatan melebihi ayahnya. Ibu Dursasana bernama Gandari dan ayahnya bernama Prabu Drestarasta. Nama istana yang dimaksud di dalam puisi di atas adalah Indraprasta.

 

Bentuk dan Makna Simbol atau Lambang dalam Puisi "Dursasana Peliharaan Istana"

Puisi dengan judul Dursasana Peliharaan Istana di atas menceritakan tentang watak dan kelakuan Dursasana di dalam Istana sebagai suruhan raja dan pejabat istana yang semena-mena dengan rakyat kecil termasuk kaum wanita yang lemah. Puisi tersebut ditulis di Surabaya pada tahun 2021. Dari segi betuk, puisi di atas terdiri dari lima bait. Setiap bait terdiri dari beberapa baris yang berbeda. Secara keseluruhan, baris pada puisi di atas adalah 15-14-11-9-10. Jadi totalnya adalah 59 baris. Apabila diperhatikan, setiap baris mempunyai rima akhiran yang sama yaitu A. Kemudian, pada bait ketiga dan keempat terjadi pengulangan kalimat yaitu bunyi Apa gunanya  raja dan penjabat istana. Makna simbol atau lambang pada setiap bait puisi di atas dapat dilihat di bawah ini.

Bait pertama

Sifat Dursasana tersebut tidak dapat di contoh karena tidak sesuai dengan aturan atau norma-norma. Hal ini sesuai dengan penggalan puisi tersebut yang berbunyi Tingkahnya tak megenal sendi-sendi susila. Keberadaan dursasana di dalam istana untuk memperkeruh keadaan atau adu domba ketika terdapat masalah di dalam istana yang sesuai dengan bunyi Dursasana diselundupkan untuk memperkeruh suasana, Kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah. Jaka Tingkir diibaratkan sebagai Durasana dan kerbau di ibaratkan sebagai masalahnya. Dursasana memperkeruh masalah dengan menebar benih kebencian yang berupa amarah. Dalam memperkeruh suasana, pada puisi di atas juga disebutkan bahwa masalah ditebar seperti melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima. Melihat hal tersebut, para ulama tidak bertindak apa-apa. Para pahlawan yang disimbolkan sebagai panji juga hanya hanya mengandalkan ucapan saja tanpa memberikan tindakan. Hal ini disimbolkan dengan kata slogan. Posisi para ulama hanya dimanfaatkan untuk menguntungkan dirinya sendiri agar disukai oleh penguasa istana. Para ulama justru menyombongkan diri dengan memamerkan pengikutnya. Hal ini sesuai dengan bunyi puisi di atas Para ulama yang bersila di samping raja, Menjadi penjilat yang paling setia, Sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya.

Bait kedua

Dursasana sangatlah sombong, berkata sesuka hatinya, dan suka menghina wanita. Dalam puisi di atas, penulis menyebut dursasana menyombongkan diri dihadapan raja dan pejabat istana. Dursasana menganggap dirinya yang paling gagah seakan hulubalang paling digdaya. Hulubalang adalah pemimpin pasukan, sedangkan digdaya adalah tidak terkalahkan. Dengan demikian, dursasana merasa bahwa dirinya adalah pemimpin pasukan yang tidak terkalahkan. Mulut lebar berbusa-busa mempunyai makna bahwa dursasana banyak bicara, tetapi tidak ada buktinya. Ucapan dursasana untuk menebar amarah seperti bunyi Bau busuk berlompatan ke udara. Dursasana mempunyai banyak tingkah. Hal ini disimbolkan dengan kalajengking mengeram pantatnya. Kalajengking adalah dursasana, sedangkan mengeram pantatnya diibaratkan tingkah dursasana yang banyak. Mendengar ucapan Dursasana, raja hanya menganggukkan kepalanya saja. Dursasana adalah utusan raja yang terbukti pada bunyi Sambil berpikir memberi tugas selanjutnya.

Bait ketiga

Keberadaan dursasana yang menjadi utusan raja dan pejabat juga terbukti pada bunyi Apa gunanya raja dan pejabat istana, Jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina. Raja dan pejabat istana memberikan tugas kepada dursasana untuk menghina dan merendahkan para kawula. Kawula adalah rakyat kecil. Dursasana juga menghina agama dan keyakinan para jamaah. Raja membayar dursasana dengan menggunakan uang penghasilan dari pajak rakyat kecil dan hutang negara. Raja dan pejabat istana telah dibutakan oleh kekuasaan. Hal ini sesuai penggalan puisi dibawah ini.

Akal sehat tersesat di selokan belantara

Otaknya jadi sebatas di siku paha

Digantikan syahwat kuasa menyala-nyala

Melupa sumpah yang pernah diujarnya

Para penjilat berpesta pora

Meyesapi cucuran keringat para kawula

Penulis menyimbolkan selokan belantara yaitu tempat yang luas dan kotor tempat raja dan pejabat tersesat. Bahkan, peulis menyebut bahwa mereka mempunyai otak tapi tidak digunakan untuk berpikir pada baris kedua.  Otak raja dan pejabat istana hanya digunakan untuk kesenangan mereka saja, tanpa memikirkan sumpahnya sebelum menjabat. Mereka hanya menuntungkan diri sendiri dengan bersenang-senang yang dalam puisi di atas disimbolkan sebagai penjilat yang berpesta pora. Mereka menikmati kerja keras yang disimbolkan dengan cucuran keringat para rakyat kecil.

Bait keempat

Makna pada bait keempat hampir sama dengan bait ketiga. Penulis menyebut raja dan pejabat istana tidak mampu menjaga nama baik istana karena mereka menyewa dursasana untuk menyiksa rakyat kecil. Ketika rakyat kecil menyerukan pendapat mereka, dursasana ditugaskan untuk membuat rakyat kecil tutup mulut. Dursasana menyembunyikan kebenaran dari semua orang. Hal ini disimbolkan dengan potongan bait puisi dibawah ini.

Meyembunyikan tangan usai melempar bara

Ketika angkara ditebar dursasana

Dibiarkan jadi gerakan bawah tanah

Tak tersentuh hukum karma berlindung di ketiak istana

Bara disimbolkan sebagai kebencian, yang artinya dursasana menebar kebencian tanpa sepengetahuan siapapun. Hal ini ditandai dengan simbol gerakan bawah tanah yang artinya kebencian tersebut tersembunyi secara rapi tanpa diketahui siapapun dan tidak tersentuh hukum karena dursasana merupakan utusan raja istana sehingga dirinya dapat bersembunyi dengan bebas. Ketiak istana yang dimaksud merupakan raja dan pejabat istana.

Bait kelima

Pada bait terakhir, disebutkan bahwa dursasana adalah orang yang jumawa yaitu sombong. Bahkan, pada akhir cerita, dursasana pernah membunuh bayi yang tidak berdosa. Dursasana juga pernah melecehkan kehormatan wanita. Anak wanita tersebut tidak terima sehingga ia bersumpah akan memenggal leher dursasana. Kemudian, ibunya mengambil darahnya untuk digunakan mencuci rambutnya. Hal ini dilakukan sebagai balasan terhadap perbutan dursasana yang telah melecehkan martabatnya.

 

 Kelebihan dan Perbandingan dengan Aktual

Kelebihan dari puisi Dursasana Peliharaan Istana di atas adalah syair yang dibuat oleh penulis sangat terasa nyata. Penulis menggunakan diksi yang mudah dimengerti oleh pembaca. Selain itu, penggambaran watak tokoh dursasana beserta raja dan pejabat istana begitu jelas. Kemudian, dari sudut pengarang, masa puisi di atas tidak sesuai dengan masa dari pengarang. Keduanya terdapat dalam zaman yang berbeda. Pada puisi di atas, menceritakan kisah pada zaman kerajaan, sedangkan pengarang tidak hidup pada masa kerajaaan.

Apabila dibandingkan dengan zaman sekarang, puisi tersebut masih sesuai dengan kehidupan nyata pada saat ini tetapi tidak separah pada cerita yang ada dalam puisi tersebut. Jika di dalam puisi di atas disebutkan bahwa rakyat kecil dihina. Selain itu, pemerintah istana begitu kejam memperlakukan rakyat kecil dengan bantuan Dursasana. Sedikit berbeda dengan kenyataan saat ini. Pada kehidupan saat ini, sebenarnya masih ada juga masyarakat atau rakyat kecil yang belum memperoleh haknya atau kurang perhatian masyarakat. Namun, tidak sampai mendapat hinaan. Pada puisi di atas, disebutkan bahwa raja dan pejabat istana lupa akan tanggung jawabnya dan janjinya kepada rakyat kecil. Demikian juga dengan masa sekarang. Ada pula beberapa pejabat pemerintah yang pada saat pemilu menebar janji-janji untuk mendapatkan suara yang banyak tetapi pada kenyataannya ketika sudah menjabat, janji-janji tersebut tidak diterapkan dan tidak direalisasikan. Sebenarnya, pada kenyataan saat ini, ada pula pejabat negara dalam pemerintahan yang bersifat seperti dursasana yaitu sebagai peliharaan negara. Mereka didepan seakan-akan yang paling benar dan berkuasa. Akan tetapi, kenyataannya mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan nasib rakyat kecil. Misalnya saja korupsi. Masih banyak para pejabat pemerintah yang terkena kasus korupsi. Terlebih lagi, pada saat pandemi seperti ini. Perekonomian negara perlu untuk dijaga. Hal ini sangat berdampak dan membuat negara merugi.

Dengan demikian, makna serta pesan yang ingin disampaikan pada puisi Dursasana Peliharaan Istana karya M. Shoim Anwar di atas adalah apabila kita mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, jangan meyombongkan diri. Apabila dipercaya sebagai pemimpin, jadilah pemimpin yang bertanggungjawab.