“Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah"
Ulama
Abiyasa adalah guru yang mulia
panutan
para kawula dari awal kisah
ia
adalah cagak yang tegak
tak
pernah silau oleh gebyar dunia
tak
pernah ngiler oleh umpan penguasa
tak
pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
tak
pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
tak
pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Ulama
Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah
marwah
digenggam hingga ke dada
tuturnya
indah menyemaikan aroma bunga
senyumnya
merasuk hingga ke sukma
langkahnya
menjadi panutan bijaksana
kehormatan
ditegakkan tanpa sebiji senjata
Ulama
Abiyasa bertitah
para
raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
tak ada
yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya
sebagai pengumpul suara
atau
didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa
diberi
pakaian dan penutup kepala berharga murah
agar
tampak sebagai barisan ulama
Ulama
Abiyasa tak membutuhkan itu semua
datanglah
jika ingin menghaturkan sembah
semua
diterima dengan senyum mempesona
jangan
minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
sebab ia
lurus apa adanya
mintalah
arah dan jalan sebagai amanah
bukan
untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
tapi
dilaksanakan sepenuh langkah
Penghujung
Desember 2020
Desember 2020
Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi
Puisi karya M.
Shoim Anwar dengan judul Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah menceritakan
tentang Ulama Abiyasa yang menjadi panutan karena mempunyai sifat yang jujur,
bertanggungjawab, apa adanya, dan mempunyai tutur kata yang santun. Berdasarkan
bentuk puisinya, puisi di atas terdiri dari tiga bait. Setiap bait mempunyai
jumlah baris yang berbeda. Bait pertama, terdiri atas 8 baris, bait kedua,
mempunyai 6 baris, dan bait ketiga terdiri dari 16 baris. Jadi, jumlah baris
secara keseluruhan dalam puisi Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah adalah 30
baris. Pada bait pertama, baris keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan
terdapat pengulangan bunyi tak pernah pada awal kalimat sebanyak empat
kali. Bunyi Ulama Abiyasa juga diulangi sebanyak tiga kali pada setiap
awal bait. Puisi Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah ditulis pada akhir bulan
Desember tahun 2020.
Makna Puisi Per-Bait
Bait Pertama
Baris pertama
dan kedua menjelaskan bahwa di awal kisah, Ulama Abiyasa adalah contoh para
rakyat kecil. Kata cagak yang tegak pada baris ketiga adalah simbol
penopang, yang artinya, Ulama Abiyasa adalah seseorang yang kuat, yang tahan
dalam mengahadapi segala hal.
tak
pernah silau oleh gebyar dunia
tak
pernah ngiler oleh umpan penguasa
tak
pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
tak
pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
tak
pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Pada baris keempat sampai ke delapan mempunyai makna bahwa Ulama Abiyasa tidak tergoda dengan jabatan dan kemegahan dunia. Dia tidak meminta-minta untuk memperoleh imbalan dalam menjalankan kewajibannya. Dia jujur dan bertanggungjawab. Apabila, diacam oleh orang yang iri dengannya, ia tetap pada pendiriannya. Apabila, diberikan uang sogokan, dia tidak menerimanya. Dengan demikian, inti dari bait pertama yaitu Ulama Abiyasa adalah orang yang berbudi luhur, jujur, tanggungjawab, dan apa adanya.
Bait Kedua
Pada bait kedua, baris pertama kalimat merengkuh teguh hati dan lidah mempunyai makna bahwa Ulama Abiyasa selalu menjaga hati dan lidahnya dalam perbuatan maupun perkataan. Pada baris kedua, kata marwah adalah simbol kehormatan diri sehingga baris kedua mempunyai arti bahwa Ulama Abiyasa selalu menjaga kehormatannya, harga dirinya atau nama baiknya. Bunyi tuturnya indah menyemaikan aroma bunga pada baris ketiga mempunyai makna bahwa tutur kata atau ucapan Ulama Abiyasa santun, sehingga membuat hati pendengarnya senang. Kata Indah adalah simbol kesantunan dan kata bunga merupakan simbol senang. Pada baris keempat, bunyi senyumnya merasuk hingga ke sukma menandakan bahwa wajah Ulama Abiyasa sangat manis, sehingga senyumannya membuat orang yang melihatnya menjadi terbayang-bayang. Baris kelima, bunyi langkahnya menjadi panutan bijaksana mempunyai arti bahwa Ulama Abiyasa selalu berhati-hati dalam berperilaku, sehingga ia mampu menjadi teladan. Kata langkah adalah simbol perbuatan atau perilaku. Pada baris terakhir yaitu baris keenam, kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata bermakna bahwa Ulama Abiyasa selalu menjaga kehormatannya, menjaga nama baiknya tanpa ada kejelekan sedikitpun. Maksudnya, Ulama Abiyasa tidak pernah melakukan kekerasan atau tindakan yang tidak baik agar kehormatannya tetap terjaga.
Bait Ketiga
Pada bait ketiga, menjelaskan perkataan Ulama Abiyasa
tentang para raja dan penguasa. Bunyi bertita artinya berkata. Baris
kedua, ketiga, keempat, dan kelima mempunyai makna bahwa para raja dan penguasa
sangat menghormati Ulama Abiyasa sehingga tidak ada yang berani untuk meminta
bantuannya untuk mengumpulkan para pendukung agar raja dan penguasa dapat
menjadi seorang pemimpin. Kalimat didudukkan di kursi untuk dipajang di
depan massa adalah simbol menjadi seorang pemimpin. Pada baris keenam,
ketujuh, dan kedelapan menjelaskan bahwa Ulama Abiyasa tidak mau jika diberikan
sogokan. Hal ini terbukti pada simbol bunyi diberi pakaian dan penutup kepala
berharga murah.
Kemudian, pada baris kesembilan Ulama Abiyasa
meminta agar para raja dan penguasa agar datang kepadanya hanya untuk
memberikan hormat padanya. Hal itu, sudah membuat Ulama Abiyasa menerima yang
tertuang pada bunyi semua diterima dengan senyum mempesona. Pada baris
kesebelas dan dua belas, Ulama Abiyasa mengatakan bahwa dirinya tidak suka
apabila para raja dan penguasa datang untuk meminta dirinya memberikan solusi
tetapi dengan jalan yang tidak benar yaitu dengan mengatakan hal-hal yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Ulama Abiyasa orangnya apa adanya, tidak mau apabila
diminta dengan tujuan yang tidak baik. Hal tersebut terdapat pada bunyi jangan
minta diplintirkan ayat-ayat asal kena, sebab ia lurus apa adanya. Pada
baris ketiga belas, empat belas, dan lima belas, Ulama Abisaya memerintahkan
agar para raja dan para penguasa datang kepadanya untuk meminta diberikan
solusi yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan solusi yang
membujuk dan menipu rakyat. Pada baris yang terakhir yaitu baris keenam belas
dijelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi
pada akhir bulan Desember 2020. Dengan demikian, Ulama Abiyasa merupakan
orang yang ikhlas membantu seseorang. Ia mengerjakan tanpa ada rasa pamrih dan
tanpa meminta imbalan atau balasan.
Perbandingan dengan Aktual
Puisi karya M. Shoim Anwar dengan judul Ulama
Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Dalam
puisi tersebut dijelaskan bahwa Ulama Abiyasa merupakan orang yang menjadi
panutan karena mempunyai sifat yang jujur, bertanggungjawab, apa adanya, dan
mempunyai tutur kata yang santun. Jika dibandingkan dengan kehidupan saat ini,
masih ada orang yang mempunyai sifat seperti Ulama Abiyasa, tetapi tidak banyak,
hanya segelintir orang. Pada puisi tersebut juga dijelaskan bahwa para penguasa
datang ke Ulama Abiyasa dengan tujuan untuk meminta bantuan tetapi Ulama Abiyasa
tidak suka karena mereka membawa sesuatu sebagai imbalan. Ulama Abiyasa ikhlas
membantu mereka. Pada kenyataannya, masih banyak pemimpin negara yang mempunyai
sikap seperti para penguasa tersebut. Agar memperoleh jabatan, mereka tidak
segan untuk meminta bantuan kepada orang pintar atau seoarang ulama. Hal itu
dilakukan semata-mata dengan tujuan untuk memperoleh suara atau dukungan yang
banyak dari rakyat dalam pemilihan umum karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama
islam. Berkebalikan dengan sikap Ulama Abiyasa yang ikhlas membantu. Ulama yang
membantu tersebut saat ini justru melakukan untuk memperoleh imbalan, baik
berupa uang maupun diberikan jabatan.