Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

KRITIK PUISI “ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA”


.

 

“Ulama Durna Ngesot ke Istana”



Karya M. Shoim Anwar


Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

                                                   Desember 2020

 

Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi

Puisi karya M. Shoim Anwar dengan judul Ulama Durna Ngesot Ke Istana menceritakan tentang Ulama Durna yang ingin mendapatkan kekuasaan. Berdasarkan bentuknya, puisi Ulama Durna Ngesot Ke Istana terdiri dari empat bait. Setiap bait terdiri dari beberapa baris yang berbeda. Secara keseluruhan, baris pada puisi di atas adalah 7-8-10-12. Jadi, jumlah baris pada puisi di atas adalah 37 baris. Jika diperhatikan dengan seksama, puisi di atas mempunyai rima akhir dengan bunyi yang sama yaitu A. Kemudian, setiap bait pada baris pertama mempunyai bunyi yang sama yaitu Lihatlah yang diulang hingga empat kali. Pengulangan bunyi puisi juga terjadi pada bunyi ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana. Pengulangan bunyi tersebut terjadi pada bait pertama baris ketiga, bait kedua baris ketiga, dan bait keempat baris kedua. Puisi di atas sebenarnya menggambarkan kehidupan penguasa pada cerita pewayangan. Puisi karya M. Shoim Anwar tersebut dibuat pada Desember tahun 2020.

 

Makna Puisi Pada Per-Bait

Bait pertama

Pada baris pertama dan kedua, kehidupan di dunia disimbolkan dengan panggung di negeri sandiwara. Hal ini mempunyai arti bahwa manusia di dunia hanya sebagai pemeran sesuai dengan cerita yang ditakdirkan oleh Tuhan. Pada baris pertama, kita diperintahkan untuk memperhatikan hal itu dan menyadarinya. Kemudian, pada baris ke tiga, Ulama Durna adalah simbol bahwa tidak semua orang yang beriman dan ahli yang berperan sebagai orang kepercayaan pemimpin mempunyai sifat yang baik. Durna mempunyai arti orang yang mempunyai sifat licik, suka mengadu domba, menghasut, serta memfitnah. Bahkan pada baris ke empat, dijelaskan bahwa orang diberi kepercayaan oleh pemimpin suka mencari muka atau suka diberikan pujian dan balasan yang artinya orang tersebut jika mengerjakan sesuatu minta diberikan imbalan. Hal ini ditandai dengan simbol menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah. Remah-remah adalah simbol dari pujian dan balasan itu sendiri sedangkan pantat raja adalah simbol sikap atau perlakukan orang diberi kepercayaan oleh pemimpin agar mendapatkan pujian dan balasan. Lalu, pada baris kelima, keenam, dan ketujuh mempunyai makna bahwa orang diberi kepercayaan oleh pemimpin ketika mendapatkan pujian dan balasan menjadi sombong. Kemudian, menambah omongan agar semua kelakukannya dibenarkan. Dengan demikian,  bait pertama mempunyai makna bahwa semua yang hidup di dunia ini telah diatur oleh Tuhan dan apabila diberikan kepercayaan janganlah bersikap sombong, menjual kata-kata agar mendapatkan pujian dan balasan.


Bait kedua

Pada bait kedua baris pertama dan kedua, kita masih diperintahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna yang datang ke istana. Kedatangan Ulama Durna ke istana untuk menyerahkan marwah. Marwah mempunyai arti harga diri atau nama baik. Kemudian, pada baris keempat disebutkan sengkuni beserta pengikutnya yang berada diluar istana. Dalam cerita pewayangan, Sengkuni mempunyai sifat antagonis yaitu suka memprovokatori, licik, dan penuh tipu muslihat. Pada baris kelima, disebutkan bahwa Sengkuni dan pengikutnya menyombongkan diri dengan merasa yang paling gagah dan berlindung dibalik penguasa. Kemudian, pada baris keenam, ketujuh, dan kedelapan dijelaskan bahwa Sengkuni menunggang banteng bermata merah dengan mengacungkan senjata berupa arit dan memutuskan kesalahan dan memasukan orang-orang ke penjara. Banteng bermata merah adalah simbol kemarahan.

Bait Ketiga

Masih sama dengan bait pertama dan kedua, pada baris pertama bait ketiga kita juga diperintahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna. Pada baris kedua, disebutkan bahwa Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa. Berdagang mantra berbusa-busa mempunyai arti bahwa Ulama Durma mempunyai sifat suka ngomong kesana-kesini. Kemudian, pada baris ketiga omongan Ulama Durna tersebut membuat baratayuda marah. Hal ini disimbolkan dengan bunyi menyulut api. Sehingga, pada baris keempat para pengikutnya menjadi lupa diri atas keberhasilan rencananya. Pada baris kelima dan keenam, aturan yang dulu diciptakan oleh penguasa yang sebelumnya telah dihancurkan. Hal ini disebabkan karena keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dunia yang disebutkan pada baris ketujuh. Kemudian, mereka menghalalkan segala cara dengan merasa bahwa dirinya yang paling benar. Pada baris kedelapan, para begundal merupakan simbol orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan, sedangkan dewa-dewa adalah simbol kebenaran. Lalu, pada baris kesembilan, orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan menyalahkan rakyat kecil yang disimbolkan dengan kawula. Pada baris kesepuluh, orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan diibaratkan seperti dunia hendak diuntal mentah-mentah yang berarti bahwa mereka menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaan.

 

Bait Keempat

Pada bait terakhir, baris pertama dan kedua masih memeritahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna yang mengharapkan kekuasaan dengan disimbolkan ngesot ke istana. Kemudian, pada baris ketiga dan keempat, disebutkan bahwa dalam akhir merebutkan tahta di padang kurusetra, Ulama Durna diumpankan sebagai raja ke medan laga yaitu sebagai sasaran yang dikorbankan.

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

Pada penggalan puisi di atas, mempunyai makna bahwa ada kabar yang mengejutkan tentang Ulama Durna. Kegagahan yang dulu dibanggakan Ulama Durma telah hilang. Anak hasil perzinahannya meninggal di medan peperangan. Ulama Durna merasa sedih dan tertunduk di atas tanah. Ia merasa bahwa hidupnya sudah berakhir. Durna baru menyadari bahwa kematian anaknya merupakan balasan dari apa yang dilakukan selama ini dalam baratayuda.

 

Perbandingan dengan Aktual

Apabila dibandingkan dengan zaman sekarang, puisi dengan judul Ulama Durna Ngesot Ke Istana karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Dalam merebutkan kekuasaan, dilakukan secara terang-terangan tanpa memikirkan dampaknya, yang penting memperoleh kekuasaan. Pada zaman sekarang, masih banyak orang yang ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Contohnya saja ketika pemilihan umum. Beberapa orang memilih memberikan uang sogokan untuk memperoleh suara yang lebih tinggi dari lawannya. Hal ini merupakan salah satu cara yang dihalalkan untuk memperoleh kekuasaan. Meskipun ada pihak yang bertugas untuk mengamankan orang yang bertindak jujur tersebut, mereka tetap saja melakukan hal yang tidak terpuji.

Your Reply