“Ulama Durna Ngesot ke Istana”
Lihatlah
sebuah
panggung di negeri sandiwara
ketika
ada Ulama Durna ngesot ke istana
menjilat
pantat raja agar diberi jatah remah-remah
maka
kekuasaan menjadi sangat pongah
memesan
potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya
agar
segala tingkah polah dianggap absah
Lihatlah
ketika
Ulama Durna ngesot ke istana
menyerahkan
marwah yang dulu diembannya
Sengkuni
dan para pengikutnya di luar sana
bertingkah
sok gagah berlindung di ketiak penguasa
menunggang
banteng bermata merah
mengacungkan
arit sebagai senjata
memukulkan
palu memvonis orang-orang ke penjara
Lihatlah
ketika
Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa
adakah
ia hendak menyulut api baratayuda
para
pengikutnya mabuk ke lembah-lembah
tatanan
yang dulu dicipta oleh para pemula
porak
poranda dijajah tipu daya
oh tahta
dunia yang fana
para
begundal mengaku dewa-dewa
sambil
menuding ke arah kawula
seakan
isi dunia hendak diuntal mentah-mentah
Lihatlah
ketika
Ulama Durna ngesot ke istana
pada
akhir perebutan tahta di padang kurusetra
ia
diumpankan raja ke medan laga
terhenyaklah
saat terkabar berita
anak
hasil perzinahannya dengan satwa
telah
gugur mendahului di depan sana
Ulama
Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya
ia
menunduk di atas tanah
riwayatnya
pun berakhir sudah
kepalanya
terpenggal karena terpedaya
menebus
karmanya saat baratayuda
Desember 2020
Kritik Berdasarkan Bentuk Puisi
Puisi karya M. Shoim Anwar dengan judul Ulama
Durna Ngesot Ke Istana menceritakan tentang Ulama Durna yang ingin mendapatkan
kekuasaan. Berdasarkan bentuknya, puisi Ulama Durna Ngesot Ke Istana terdiri
dari empat bait. Setiap bait terdiri dari beberapa baris yang berbeda. Secara
keseluruhan, baris pada puisi di atas adalah 7-8-10-12. Jadi, jumlah baris pada
puisi di atas adalah 37 baris. Jika diperhatikan dengan seksama, puisi di atas
mempunyai rima akhir dengan bunyi yang sama yaitu A. Kemudian, setiap bait pada
baris pertama mempunyai bunyi yang sama yaitu Lihatlah yang diulang
hingga empat kali. Pengulangan bunyi puisi juga terjadi pada bunyi ketika
ada Ulama Durna ngesot ke istana. Pengulangan bunyi tersebut terjadi pada
bait pertama baris ketiga, bait kedua baris ketiga, dan bait keempat baris
kedua. Puisi di atas sebenarnya menggambarkan kehidupan penguasa pada cerita
pewayangan. Puisi karya M. Shoim Anwar tersebut dibuat pada Desember tahun
2020.
Makna Puisi Pada Per-Bait
Bait pertama
Pada baris pertama dan kedua, kehidupan di
dunia disimbolkan dengan panggung di negeri sandiwara. Hal ini mempunyai
arti bahwa manusia di dunia hanya sebagai pemeran sesuai dengan cerita yang
ditakdirkan oleh Tuhan. Pada baris pertama, kita diperintahkan untuk
memperhatikan hal itu dan menyadarinya. Kemudian, pada baris ke tiga, Ulama
Durna adalah simbol bahwa tidak semua orang yang beriman dan ahli yang berperan
sebagai orang kepercayaan pemimpin mempunyai sifat yang baik. Durna mempunyai
arti orang yang mempunyai sifat licik, suka mengadu domba, menghasut, serta
memfitnah. Bahkan pada baris ke empat, dijelaskan bahwa orang diberi kepercayaan
oleh pemimpin suka mencari muka atau suka diberikan pujian dan balasan yang
artinya orang tersebut jika mengerjakan sesuatu minta diberikan imbalan. Hal ini
ditandai dengan simbol menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah.
Remah-remah adalah simbol dari pujian dan balasan itu sendiri sedangkan pantat
raja adalah simbol sikap atau perlakukan orang diberi kepercayaan oleh pemimpin
agar mendapatkan pujian dan balasan. Lalu, pada baris kelima, keenam, dan
ketujuh mempunyai makna bahwa orang diberi kepercayaan oleh pemimpin ketika
mendapatkan pujian dan balasan menjadi sombong. Kemudian, menambah omongan agar
semua kelakukannya dibenarkan. Dengan demikian,
bait pertama mempunyai makna bahwa semua yang hidup di dunia ini telah
diatur oleh Tuhan dan apabila diberikan kepercayaan janganlah bersikap sombong,
menjual kata-kata agar mendapatkan pujian dan balasan.
Bait kedua
Pada
bait kedua baris pertama dan kedua, kita masih diperintahkan untuk
memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna yang datang ke istana. Kedatangan
Ulama Durna ke istana untuk menyerahkan marwah. Marwah mempunyai arti harga
diri atau nama baik. Kemudian, pada baris keempat disebutkan sengkuni beserta
pengikutnya yang berada diluar istana. Dalam cerita pewayangan, Sengkuni
mempunyai sifat antagonis yaitu suka memprovokatori, licik, dan penuh tipu
muslihat. Pada baris kelima, disebutkan bahwa Sengkuni dan pengikutnya menyombongkan
diri dengan merasa yang paling gagah dan berlindung dibalik penguasa. Kemudian,
pada baris keenam, ketujuh, dan kedelapan dijelaskan bahwa Sengkuni menunggang
banteng bermata merah dengan mengacungkan senjata berupa arit dan
memutuskan kesalahan dan memasukan orang-orang ke penjara. Banteng bermata merah
adalah simbol kemarahan.
Bait Ketiga
Masih sama dengan bait pertama dan kedua, pada baris
pertama bait ketiga kita juga diperintahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya
Ulama Durna. Pada baris kedua, disebutkan bahwa Ulama Durna berdagang mantra
berbusa-busa. Berdagang mantra berbusa-busa mempunyai arti bahwa
Ulama Durma mempunyai sifat suka ngomong kesana-kesini. Kemudian, pada baris
ketiga omongan Ulama Durna tersebut membuat baratayuda marah. Hal ini
disimbolkan dengan bunyi menyulut api. Sehingga, pada baris keempat para
pengikutnya menjadi lupa diri atas keberhasilan rencananya. Pada baris kelima
dan keenam, aturan yang dulu diciptakan oleh penguasa yang sebelumnya telah
dihancurkan. Hal ini disebabkan karena keinginan untuk mendapatkan kekuasaan
dunia yang disebutkan pada baris ketujuh. Kemudian, mereka menghalalkan segala
cara dengan merasa bahwa dirinya yang paling benar. Pada baris kedelapan, para
begundal merupakan simbol orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan,
sedangkan dewa-dewa adalah simbol kebenaran. Lalu, pada baris kesembilan,
orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan menyalahkan rakyat kecil yang
disimbolkan dengan kawula. Pada baris kesepuluh, orang-orang yang ingin
mendapatkan kekuasaan diibaratkan seperti dunia hendak diuntal mentah-mentah
yang berarti bahwa mereka menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan
kekuasaan.
Bait Keempat
Pada bait terakhir, baris pertama dan kedua masih
memeritahkan untuk memperhatikan dan menyadari adanya Ulama Durna yang
mengharapkan kekuasaan dengan disimbolkan ngesot ke istana. Kemudian,
pada baris ketiga dan keempat, disebutkan bahwa dalam akhir merebutkan tahta di
padang kurusetra, Ulama Durna diumpankan sebagai raja ke medan laga yaitu
sebagai sasaran yang dikorbankan.
terhenyaklah saat terkabar berita
anak hasil perzinahannya dengan satwa
telah gugur mendahului di depan sana
Ulama Durna bagai kehilangan seluruh
belulangnya
ia menunduk di atas tanah
riwayatnya pun berakhir sudah
kepalanya terpenggal karena terpedaya
menebus karmanya saat baratayuda
Pada penggalan puisi di atas, mempunyai makna
bahwa ada kabar yang mengejutkan tentang Ulama Durna. Kegagahan yang dulu
dibanggakan Ulama Durma telah hilang. Anak hasil perzinahannya meninggal di
medan peperangan. Ulama Durna merasa sedih dan tertunduk di atas tanah. Ia merasa
bahwa hidupnya sudah berakhir. Durna baru menyadari bahwa kematian anaknya
merupakan balasan dari apa yang dilakukan selama ini dalam baratayuda.
Perbandingan dengan Aktual
Apabila dibandingkan dengan zaman sekarang, puisi
dengan judul Ulama Durna Ngesot Ke Istana karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai
dengan kehidupan saat ini. Dalam merebutkan kekuasaan, dilakukan secara
terang-terangan tanpa memikirkan dampaknya, yang penting memperoleh kekuasaan. Pada zaman sekarang, masih banyak orang yang ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Contohnya saja ketika pemilihan umum. Beberapa orang memilih memberikan uang sogokan untuk memperoleh suara yang lebih tinggi dari lawannya. Hal ini merupakan salah satu cara yang dihalalkan untuk memperoleh kekuasaan. Meskipun ada pihak yang bertugas untuk mengamankan orang yang bertindak jujur tersebut, mereka tetap saja melakukan hal yang tidak terpuji.