Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

KRITIK CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI"

undefined
202. undefined

SULASTRI DAN EMPAT LELAKI

Karya M. Shoim Anwar

 

LAUT menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.

Sementara tak jauh di sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan  dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.

Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melihat ke bawah.

“Hai…!” seru polisi dari arah pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak menjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.

Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.

Sulatsriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.

Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.

Na’am?” lelaki itu meminta.

Laa,” Sulastri menggeleng pelan.

Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul kekhawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai di atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang polisi mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya tampak seperti berkejaran. Sesampai di ujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.

Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.

Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak menjauhi pantai. Di ujung tanggul  Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.

Di bibir Laut Merah, Sulastri  teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo.

“Sudah dapat?” tanya Sulastri. Seperti biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakainnya yang basah.

“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh ujung janggut.

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.

Bayangan tentang sang suami menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang tiba-tiba datang. Laut Merah bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.

“Firauuun…!”

Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pakaian gemerlap yang menutup pusar hingga lutut Firaun telah sampai di atas tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan. Di hadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok. Perempuan itu menoleh ke sana ke mari dengan tergesa, mencari-cari orang yang dikenal sebagai penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri berteriak padanya untuk minta tolong. Tapi sang polisi tak memberi reaksi berarti, dia hanya melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kemudian kembali masuk pos.

“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

“Aku bukan budak.…”

“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

Sulastri terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolongnya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.

Sulastri terhenyak. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa….”

Lelaki itu manggut-manggut. Tangan kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdiri kokoh di atas tanggul. Angin bergolak di sana.

“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

“Kami menderita, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

“Tolonglah saya, Ya Musa….”

Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dalam pandangan Sulastri. Dari atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.

Wa maadzaa turiidiina aidlon?” polisi bertanya apa lagi yang diinginkan  Sulastri.

“Tolong… tolonglah  saya.…”

Polisi menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung. Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah  benar-benar di belakang Sulastri. Dan Firaun memang sudah hampir menangkapnya.   Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hapir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya.

Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.

Sulastri  mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri. (*)

.

.

Laut Merah – Surabaya, 2009- 2011

Sumber : https://lakonhidup.com/2011/12/05/sulastri-dan-empat-lelaki/


 

Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen

Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tokoh utamanya yaitu Sulastri, sedangkan empat lelaki yang dimaksud adalah polisi, Markan (suami Sulastri),  Musa, dan Firaun. Latar tempat pada cerpen di atas yaitu di tanggul, di bibir atau tepi Laut Merah, dan di padang pasir. Alur yang digunakan yaitu alur campuran. Hal ini terlihat ketika di tengah cerita, Sulatri berada di bibir Laut Merah mengingat atau membayangkan tentang suaminya, Markam. Lalu, cerita kembali dilanjutkan dengan bertemunya Sulatri dengan Firaun. Latar waktu yang digunakan yaitu siang hari. Hal ini terbukti pada kutipan “Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari.“ dan “Butir-butir pasir digoreng Matahari.” Kemudian, suasana yang ditampilkan dalam cerpen di atas adalah suasana mendebarkan atu mencekam yang nampak ketika Sulastri dikejar Firaun dan ketika  Sulastri takut di tangkap oleh polisi.

Berbeda dengan cerpen-cerpen yang saya kritik sebelumnya. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar ini sering kali menggunakan kata-kata kias. Banyak majas didalamnya salah satunya adalah majas hiperbola. Penggunaan gaya bahasa membuat cerpen ini menjadi lebih hidup dan lebih menarik untuk dinikmati oleh pembaca. Pembaca seolah-olah ikut serta dalam cerita tersebut, seakan ikut merasakan kejadian yang ada dalam cerpen tersebut. Contoh gaya bahasa yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Butir-butir pasir digoreng matahari.

Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan.

Sendi-sendinya seperti hendak rontok.

Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya.

Dengan latar di Arab sana, isi cerpen Sulastri dan Empat Lelaki mengingatkan tentang kisah seorang nabi pada waktu itu. Cerpen ini dibuat oleh M. Shoim Anwar pada tahun 2009 sampai 2011 di kota Surabaya.

 

Isi yang Terkandung dalam Cerpen

Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mengisahkan tentang Sulastri yang sedang berada di Arab untuk bekerja. Suami Sulastri yaitu Markam kurang bertanggungjawab terhadap dirinya dan anaknya. Markam justru mengabdikan hidupnya untuk bertapa di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Ketika Sulastri berada diujung tanggul, ia dipanggil oleh seorang polisi. Namun, Sulastri tidak menghiraukannya. Sulastri takut ditangkap dan di deportasi seperti teman-temannya, yang kemudian menjadi gelandangan. Sulastri dan Polisi sempat kejar-kejaran. Tetapi, Sulastri tidak kehilangan akal. Ia bersembunyi dibalik patung-patung abstrak. Hingga akhirnya, polisi tersebut kembali ke pos.

Sulastri adalah orang biasa. Kekecewaan Sulastri terhadap perlakuan suaminya terhadap dirinya dan anaknya masih ia ingat. Namun, tiba-tiba datanglah Firaun yang ingin menjadikan Sulastri sebagai budaknya. Kemudian, Musa datang menyelamatkan dirinya. Musa berpesan agar dirinya dan suaminya bekerja dengan halal dan tidak melakukan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan yaitu dengan menyembah berhala. Seketika Musa menghilang. Sulastri nampak ketakutan dan minta tolong kepada polisi tadi. Namun, Firaun terus mengejar Sulastri hingga rambutnya dijambak dari belakang. Lau, Musa muncul kembali dan membantu Sulastri. Sulastri memukulkan tongkat yang diberikan Musa tersebut ke tubuh Firaun. Hingga pada akhirnya tubuh Firaun berubah menjadi pasir dan tenggelam. Sulastri pun tersadar bahwa tongkat yang ia pegang tidak ada.

 

Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen

Makna dan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar yaitu:

1.    Bekerjalah dengan cara yang halal.

2.    Janganlah menyebah berhala, karena yang patut disembah hanya Allah SWT.

3.    Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.

4.    Jadilah seorang suami yang bertanggungjawab atas kewajiban dalam menghidupi istri dan anak.

5.    Untuk pemerintah, buktikan janjimu kepada rakyat ketika sebelum menjabat. Jangan hanya demi kekuasaan saja sehingga menyengsarakan masyakarat yang terlanjur percaya.


Perbandingan dengan Aktual

Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Percaya atau tidak percaya, di zaman yang serba modern seperti saat ini, masih banyak orang yang bekerja dengan cara yang tidak baik atau tidak halal dengan melakukan berbagai cara. Salah satunya dengan menyembah setan untuk mendapatkan kekayaan. Hal itu dilakukan semata-mata demi menjaga harga dirinya di depan orang lain agar tidak dihina sebagai orang miskin. Mereka kurang mensyukuri apa yang mereka dapatkan. Bahkan, ada pula yang mengorbankan anggota keluarga mereka sebagai tumbal demi kelancaran dalam mendapatkan yang mereka inginkan. Kelakuan ini tidak patut untuk ditiru. Masih banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan selagi kita mau berusaha. Tuhan menciptakan semua yang ada di bumi untuk kita manfaatkan sebaik mungkin.

Kemudian, untuk suami yang kurang bertanggungjawab seperti Markam, juga masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Sering kali rumah tangga berakhir hanya karena masalah ekonomi. Ketika seorang istri berniat membantu perekonomian keluarga, sering kali dimanfaatkan oleh suami. Hingga membuat suami lupa akan tanggungjawabnya sebagai kelapa keluarga yaitu menghidupi istrinya dan anaknya. Selanjutnya, lagi-lagi untuk pemerintah yang masih sesuai dengan kejadian saat ini. Ada beberapa pejabat yang hanya janji-janji saja saat pemilu untuk mendapatkan suara yang banyak dari rakyat. Namun, ketika rakyat memilihnya dan telah mempercayainya, mereka justru lupa dengan tanggungjawabnya, lupa dengan janjinya. Hal ini nampak seperti kasus-kasus korupsi yang selalu terjadi. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya sendiri.

 

Hubungan Cerpen dengan Berbagai Masalah

Jika diperhatikan, cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mempunyai hubungan dengan berbagai masalah berikut ini.

a.    Ideologi dan Religi

Ideologi adalah cara berpikir yang dijadikan pendapat untuk memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Sedangkan religi adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Hubungan dengan masalah ideologi yang bercampur dengan unsur religi nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Kutipan Pertama

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.

 

Kutipan cerpen di atas menjelaskan tentang kepercayaan yang di anut suami Sulastri yaitu Markam. Markam mengabdikan hidupnya di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Hal tersebut dijadikan Markam sebagai ideologi dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Namun, cara berpikir Markam sangatlah salah. Sulastri sudah mengingatkan Markam. Tetapi, ucapan Sulastri tidak dihiraukan. Bahkan, Markam rela menghanyutkan diri hingga Tegal Rejo untuk bertapa. Markam meninggalkan Sulastri dan anaknya. Tindakan Markam tersebut juga termasuk dalam unsur religi. Dimana Markam lebih percaya dengan benda mati seperti kuburan dan benda-benda pusaka dibandingkan dengan Tuhan. Yang artinya, Markam telah menduakan Tuhan. Demi mendapatkan keuntungan dan merubah nasib hidupnya, Markam rela bersekutu dengan setan.

Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dengan Firaun seperti pada kutipan cerpen di bawah ini.

 

Kutipan Kedua

“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

“Aku bukan budak.…”

“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

 

Pada kutipan percakapan di atas, menceritakan bahwa Firaun ingin menangkap Sulastri. Firaun menganggap Sulastri sebagai budaknya. Hal ini terjadi bukan tidak ada sebab. Firaun datang karena kelakuan Sulastri dan suaminya yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan seperti mengabdikan diri ke makam untuk mendapatakan benda-benda pusaka dan bersemedi di sungai. Peristiwa yang dialami Sulastri tersebut adalah sebagai akibat kelakuannya pada kutipan pertama. Lalu datanglah Musa yang berdialog dengan Sulastri pada kutipan di bawah ini.

 

Kutipan Ketiga

“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

“Kami menderita, Ya Musa.”

 

Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dan Musa di atas. Dialog tersebut masih berhubungan dengan kutipan kedua. Dalam dialog tersebut, menceritakan bahwa Sulastri meminta tolong kepada Musa ketika dirinya dikejar Firaun. Musa mengatakan bahwa Sulastri telah masuk ke Arab dalam keadaan tidak baik yaitu karena kelakuannya dengan suaminya saat berada di negaranya, yang dijelaskan pada kutipan pertama. Musa mengingatkan agar Sulastri tidak bergantung pada suaminya karena suaminya penyembah berhala atau musrik, tidak percaya kepada Tuhan. Namun, Sulastri membela diri dengan mengatakan dirinya hanyalah seorang perempuan. Musa pun berkata bahwa mau perempuan atau laki-laki mempunyai kewajiban untuk mengubah nasibnya sendiri. Akan tetapi, Sulastri tetap membela diri dengan berkata negaranya miskin. Kemudian, Musa menjawab bahwa negara tempat Sulastri tinggal itu kaya. Lalu, Sulastri mengatakan dirinya tidak punya pekerjaan. Hal itu terjadi karena malas dan menyukai jalan pintas, begitu kata Musa. Percakapan Sulastri dengan Musa sebenarnya mempunyai makna yaitu kita sebagai manusia haruslah berusaha dan tidak bermalas-malasan. Bekerjalah dengan cara yang jujur, dengan cara yang diridhoi oleh Tuhan. Jangan memperkaya diri dengan mencari jalan pintas seperti menyembah berhala dan bertapa yang dilaukan oleh Markam.

 

b.   Politik

Politik adalah segala tindakan yang dilakukan seperti kebijakan oleh pemerintah negara atau terhadap negara lain. Hubungan dengan masalah politik nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Kutipan Keempat

Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.

Pada kutipan cerpen di atas, dijelaskan bahwa polisi juga bekerja sama dengan para perantara. Polisi tidak mungkin menangkap Sulastri untuk diserahkan kepada kedutaan untuk dideportasi karena ia hanya seorang diri. Para perantaralah yang bertugas menyerakan kepada polisi dengan imbalan seribu real per orang, sehingga polisi mendapat untung setidaknya tujuh ratus real per orang dan sisanya untuk diberikan kepada para perantara. Yang lebih buruk lagi, jika para perantara tersebut juga dari negara yang sama dengan Sulastri. Kejadian dalam kutipan cerpen tersebut termasuk ke dalam unsur politik. Dimana terjadi suatu transaksi disana. Polisi menjalankan tugasnya dengan syarat ada imbalan diluar gaji yang telah mereka terima dari pemerintah. Tindakan polisi tersebut tidaklah jujur dan membuat mereka yang bekerja di luar negeri seperti Sulastri menjadi serba kesulitan dan sengsara. Terlebih seperti yang dialami oleh teman-teman Sulastri yang hidup menggelandang.

c.    Sosial

Sosial adalah sikap memperhatikan kepentingan umum, seperti menolong dan bersedekah. Hubungan dengan masalah sosial nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Kutipan Kelima

Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.

 

Pada kutipan cerpen di atas menceritakan bahwa Musa menolong Sulastri saat Sulastri dikejar Firaun seperti pada kutipan kedua. Sikap tolong-menolong yang ditunjukkan Musa tersebut terhadap Sulastri termasuk ke dalam unsur sosial. Musa memberikan tongkat kepada Sulastri. Tongkat tersebut memberikan kekuatan kepada Sulastri. Sulastri pun memukulkan tongkat tersebut ke badan Firaun ketika Firaun akan menerkam dirinya. Seketika Firaun berubah menjadi pasir dan tubuh Firaun tersedot. Kemudian, tongkat tersebut pun menghilang.

 

 

 


Your Reply