Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

KRITIK PUISI "DURSASANA PELIHARAAN ISTANA"


.

   "Dursasana Peliharaan Istana"


Karya M. Shoim Anwar


Dursasana adalah durjana peliharaan istana
Tingkahnya tak megenal sendi-sendi susila
Saat masalah menggelayuti tubuh negara
Cara terhormat untuk mengurai tak ditemukan jua
Suara para kawula melesat-lesat bak anak panah
Suasana kelam bisa meruntuhkan penguasa
Jalan pintas pun digelindingkan roda-roda gila
Dursasana diselundupkan untuk memperkeruh suasana
Kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah
Atau melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima
Lalu istana punya alasan menangkapi mereka
Akal-akalan purba yang telanjang menggurita saat panji-panji negara menjadi slogan semata
Para ulama yang bersila di samping raja
Menjadi penjilat yang paling setia
Sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya
 
Lihatlah dursasana
Di depan raja dan penjabat istana
Lagak polahnya seperti paling gagah
Seakan hulubalang paling digdaya
Memamerkan segala kebengalannya
Mulut lebar berbusa-busa
Bau busuk berlompatan ke udara
Tak bisa berdiri tenang atau bersila sahaja
Seperti ada kalajengking mengeram pantatnya
Meracau mengumbar kata-kata
Raja manggut-manggut melihat dursasana
Teringat ulahnya saat menistakan wanita
Pada perjudian mencurangi tahta
Sambil berpikir memberi tugas selanjutnya
 
Apa gunanya raja dan pejabat istana
Jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina
Merendahkan martabat para anutan kawula
Menista agama dan keyakinan para jamaah
Dursasana dibayar dari pajak kawula dan utang negara
Akal sehat tersesat di selokan belantara
Otaknya jadi sebatas di siku paha
Digantikan syahwat kuasa menyala-nyala
Melupa sumpah yang pernah diujarnya
Para penjilat berpesta pora
Meyesapi cucuran keringat para kawula
 
Apa gunanya  raja dan penjabat istana
Jika tak mampu menjaga citra negara
Menyewa dursasana untuk meenggelamkan kawula
Memotong lidah dan menyerukkan ke jeruji penjara
Berlagak seperti tak tahu apa-apa
Meyembunyikan tangan usai melempar bara
Ketika angkara ditebar dursasana
Dibiarkan jadi gerakan bawah tanah
Tak tersentuh hukum karma berlindung di ketiak istana
 
Dursasana yang jumawa
Di babak akhir baratayuda
Masih juga hendak membunuh bayi tak berdosa
Lalu pada wanita yang pernah dinista kehormatannya
Ditelanjangi dari kain penutup tubuh terhormatnya
Ingatlah, sang putra memendam luka membara
Dia bersumpah akan memenggal leher dursasana hingga patah
Menutup darahnya hinggga tehisap sempurna
Lalu si ibunya yang tlah dinista martabatnya
Hari itu melunasi janjinya: keramas dengan darah dursasana
 
Surabaya, 2021


Siapakah Dursasana ?

Dalam pewayangan atau cerita Mahabarata, Dursasana adalah salah satu tokoh yang mempunyai sifat antagonis. Dursasana adalah adik kedua dari Duryudhana yang paling disayang Duryudhana. Istri Dursasana bernama Dewi Saltani. Dursasana dan istrinya mempunyai seorang putra bernama Dursala. Dursala mempunyai kekuatan melebihi ayahnya. Ibu Dursasana bernama Gandari dan ayahnya bernama Prabu Drestarasta. Nama istana yang dimaksud di dalam puisi di atas adalah Indraprasta.

 

Bentuk dan Makna Simbol atau Lambang dalam Puisi "Dursasana Peliharaan Istana"

Puisi dengan judul Dursasana Peliharaan Istana di atas menceritakan tentang watak dan kelakuan Dursasana di dalam Istana sebagai suruhan raja dan pejabat istana yang semena-mena dengan rakyat kecil termasuk kaum wanita yang lemah. Puisi tersebut ditulis di Surabaya pada tahun 2021. Dari segi betuk, puisi di atas terdiri dari lima bait. Setiap bait terdiri dari beberapa baris yang berbeda. Secara keseluruhan, baris pada puisi di atas adalah 15-14-11-9-10. Jadi totalnya adalah 59 baris. Apabila diperhatikan, setiap baris mempunyai rima akhiran yang sama yaitu A. Kemudian, pada bait ketiga dan keempat terjadi pengulangan kalimat yaitu bunyi Apa gunanya  raja dan penjabat istana. Makna simbol atau lambang pada setiap bait puisi di atas dapat dilihat di bawah ini.

Bait pertama

Sifat Dursasana tersebut tidak dapat di contoh karena tidak sesuai dengan aturan atau norma-norma. Hal ini sesuai dengan penggalan puisi tersebut yang berbunyi Tingkahnya tak megenal sendi-sendi susila. Keberadaan dursasana di dalam istana untuk memperkeruh keadaan atau adu domba ketika terdapat masalah di dalam istana yang sesuai dengan bunyi Dursasana diselundupkan untuk memperkeruh suasana, Kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah. Jaka Tingkir diibaratkan sebagai Durasana dan kerbau di ibaratkan sebagai masalahnya. Dursasana memperkeruh masalah dengan menebar benih kebencian yang berupa amarah. Dalam memperkeruh suasana, pada puisi di atas juga disebutkan bahwa masalah ditebar seperti melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima. Melihat hal tersebut, para ulama tidak bertindak apa-apa. Para pahlawan yang disimbolkan sebagai panji juga hanya hanya mengandalkan ucapan saja tanpa memberikan tindakan. Hal ini disimbolkan dengan kata slogan. Posisi para ulama hanya dimanfaatkan untuk menguntungkan dirinya sendiri agar disukai oleh penguasa istana. Para ulama justru menyombongkan diri dengan memamerkan pengikutnya. Hal ini sesuai dengan bunyi puisi di atas Para ulama yang bersila di samping raja, Menjadi penjilat yang paling setia, Sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya.

Bait kedua

Dursasana sangatlah sombong, berkata sesuka hatinya, dan suka menghina wanita. Dalam puisi di atas, penulis menyebut dursasana menyombongkan diri dihadapan raja dan pejabat istana. Dursasana menganggap dirinya yang paling gagah seakan hulubalang paling digdaya. Hulubalang adalah pemimpin pasukan, sedangkan digdaya adalah tidak terkalahkan. Dengan demikian, dursasana merasa bahwa dirinya adalah pemimpin pasukan yang tidak terkalahkan. Mulut lebar berbusa-busa mempunyai makna bahwa dursasana banyak bicara, tetapi tidak ada buktinya. Ucapan dursasana untuk menebar amarah seperti bunyi Bau busuk berlompatan ke udara. Dursasana mempunyai banyak tingkah. Hal ini disimbolkan dengan kalajengking mengeram pantatnya. Kalajengking adalah dursasana, sedangkan mengeram pantatnya diibaratkan tingkah dursasana yang banyak. Mendengar ucapan Dursasana, raja hanya menganggukkan kepalanya saja. Dursasana adalah utusan raja yang terbukti pada bunyi Sambil berpikir memberi tugas selanjutnya.

Bait ketiga

Keberadaan dursasana yang menjadi utusan raja dan pejabat juga terbukti pada bunyi Apa gunanya raja dan pejabat istana, Jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina. Raja dan pejabat istana memberikan tugas kepada dursasana untuk menghina dan merendahkan para kawula. Kawula adalah rakyat kecil. Dursasana juga menghina agama dan keyakinan para jamaah. Raja membayar dursasana dengan menggunakan uang penghasilan dari pajak rakyat kecil dan hutang negara. Raja dan pejabat istana telah dibutakan oleh kekuasaan. Hal ini sesuai penggalan puisi dibawah ini.

Akal sehat tersesat di selokan belantara

Otaknya jadi sebatas di siku paha

Digantikan syahwat kuasa menyala-nyala

Melupa sumpah yang pernah diujarnya

Para penjilat berpesta pora

Meyesapi cucuran keringat para kawula

Penulis menyimbolkan selokan belantara yaitu tempat yang luas dan kotor tempat raja dan pejabat tersesat. Bahkan, peulis menyebut bahwa mereka mempunyai otak tapi tidak digunakan untuk berpikir pada baris kedua.  Otak raja dan pejabat istana hanya digunakan untuk kesenangan mereka saja, tanpa memikirkan sumpahnya sebelum menjabat. Mereka hanya menuntungkan diri sendiri dengan bersenang-senang yang dalam puisi di atas disimbolkan sebagai penjilat yang berpesta pora. Mereka menikmati kerja keras yang disimbolkan dengan cucuran keringat para rakyat kecil.

Bait keempat

Makna pada bait keempat hampir sama dengan bait ketiga. Penulis menyebut raja dan pejabat istana tidak mampu menjaga nama baik istana karena mereka menyewa dursasana untuk menyiksa rakyat kecil. Ketika rakyat kecil menyerukan pendapat mereka, dursasana ditugaskan untuk membuat rakyat kecil tutup mulut. Dursasana menyembunyikan kebenaran dari semua orang. Hal ini disimbolkan dengan potongan bait puisi dibawah ini.

Meyembunyikan tangan usai melempar bara

Ketika angkara ditebar dursasana

Dibiarkan jadi gerakan bawah tanah

Tak tersentuh hukum karma berlindung di ketiak istana

Bara disimbolkan sebagai kebencian, yang artinya dursasana menebar kebencian tanpa sepengetahuan siapapun. Hal ini ditandai dengan simbol gerakan bawah tanah yang artinya kebencian tersebut tersembunyi secara rapi tanpa diketahui siapapun dan tidak tersentuh hukum karena dursasana merupakan utusan raja istana sehingga dirinya dapat bersembunyi dengan bebas. Ketiak istana yang dimaksud merupakan raja dan pejabat istana.

Bait kelima

Pada bait terakhir, disebutkan bahwa dursasana adalah orang yang jumawa yaitu sombong. Bahkan, pada akhir cerita, dursasana pernah membunuh bayi yang tidak berdosa. Dursasana juga pernah melecehkan kehormatan wanita. Anak wanita tersebut tidak terima sehingga ia bersumpah akan memenggal leher dursasana. Kemudian, ibunya mengambil darahnya untuk digunakan mencuci rambutnya. Hal ini dilakukan sebagai balasan terhadap perbutan dursasana yang telah melecehkan martabatnya.

 

 Kelebihan dan Perbandingan dengan Aktual

Kelebihan dari puisi Dursasana Peliharaan Istana di atas adalah syair yang dibuat oleh penulis sangat terasa nyata. Penulis menggunakan diksi yang mudah dimengerti oleh pembaca. Selain itu, penggambaran watak tokoh dursasana beserta raja dan pejabat istana begitu jelas. Kemudian, dari sudut pengarang, masa puisi di atas tidak sesuai dengan masa dari pengarang. Keduanya terdapat dalam zaman yang berbeda. Pada puisi di atas, menceritakan kisah pada zaman kerajaan, sedangkan pengarang tidak hidup pada masa kerajaaan.

Apabila dibandingkan dengan zaman sekarang, puisi tersebut masih sesuai dengan kehidupan nyata pada saat ini tetapi tidak separah pada cerita yang ada dalam puisi tersebut. Jika di dalam puisi di atas disebutkan bahwa rakyat kecil dihina. Selain itu, pemerintah istana begitu kejam memperlakukan rakyat kecil dengan bantuan Dursasana. Sedikit berbeda dengan kenyataan saat ini. Pada kehidupan saat ini, sebenarnya masih ada juga masyarakat atau rakyat kecil yang belum memperoleh haknya atau kurang perhatian masyarakat. Namun, tidak sampai mendapat hinaan. Pada puisi di atas, disebutkan bahwa raja dan pejabat istana lupa akan tanggung jawabnya dan janjinya kepada rakyat kecil. Demikian juga dengan masa sekarang. Ada pula beberapa pejabat pemerintah yang pada saat pemilu menebar janji-janji untuk mendapatkan suara yang banyak tetapi pada kenyataannya ketika sudah menjabat, janji-janji tersebut tidak diterapkan dan tidak direalisasikan. Sebenarnya, pada kenyataan saat ini, ada pula pejabat negara dalam pemerintahan yang bersifat seperti dursasana yaitu sebagai peliharaan negara. Mereka didepan seakan-akan yang paling benar dan berkuasa. Akan tetapi, kenyataannya mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan nasib rakyat kecil. Misalnya saja korupsi. Masih banyak para pejabat pemerintah yang terkena kasus korupsi. Terlebih lagi, pada saat pandemi seperti ini. Perekonomian negara perlu untuk dijaga. Hal ini sangat berdampak dan membuat negara merugi.

Dengan demikian, makna serta pesan yang ingin disampaikan pada puisi Dursasana Peliharaan Istana karya M. Shoim Anwar di atas adalah apabila kita mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, jangan meyombongkan diri. Apabila dipercaya sebagai pemimpin, jadilah pemimpin yang bertanggungjawab.

 

 

Your Reply