CERPEN
Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup
Karya M. Shoim Anwar
Gus Usup bukanlah orang biasa. Kami
menghormatinya sebagaimana kami menghormati orang-orang terhormat. Penghormatan
terhadap Gus Usup telah dilakukan para tetua sehingga tak ada alasan buat kami
untuk tidak berlaku hormat padanya. Ketika dia melintas di jalan, orang-orang
menyapanya dengan penuh rasa hormat, sedikit membungkukkan badan, menanyakan
mau ke mana, hingga mempersilakan mampir ke rumah. Sebuah kehormatan luar biasa
bila Gus Usup berkenan singgah dan menyeruput kopi yang kami suguhkan. Tentu
saja ini jarang terjadi. Gus Usup menjawab sapaan kami dengan tersenyum sambil
terus mengayuh sepedanya.
“Assalamu’alaikum,
Gus,” begitulah kami menyapa ketika beliau lewat. Salam itu dijawabnya dengan
sopan pula.
“Mampir dulu,
Gus.”
“Inggih,
terima kasih,” jawabnya lembut.
Gus Usup
bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya kami
sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula. Kami
tidak pernah menggunjing tentangnya. Segala yang terkait dengan Gus Usup kami
anggap sebagai sesuatu yang wajar. Tidak ada prasangka buruk sekecil biji zarah
pun terhadap Gus Usup. Sikap dan pembicaraan para orang tua kami seakan memberi
contoh bahwa begitulah yang harus kami lakukan terhadap Gus Usup, termasuk
kepada saudaranya seperti Gus Man, Gus Mak, Gus Roz, dan Gus Zin. Kami memang
memanggil dengan sapaan “gus” untuk laki-laki keluarga pondok. Di antara mereka
itu hanya Gus Usup yang bergaul akrab dengan siapa saja.
Gus Usup
terbilang tampan. Wajah dan kulitnya kuning bersih. Rambutnya selalu dipotong
pendek. Karena tak pernah memakai kopiah, rambut bagian depan yang agak panjang
terlihat ikal menggelombang. Alisnya cenderung tebal. Dia tak pernah memelihara
kumis dan jenggot, tapi tepat di bagian bawah bibirnya terdapat rambut yang
dibiarkan tumbuh hingga membentuk gerumbul yang manis di wajahnya. Sering dia
mengangkat ujung sarung hingga sebatas dengkul saat berjalan. Bulu-bulu
keriting kelihatan tumbuh lebat di kakinya yang kuning. Mungkin karena
ketampanannya itulah Gus Usup menjadi anak kesayangan Bu Nyai.
“Sejak
anak-anak, Gus Usup itu suka main dengan anak-anak kampung,” cerita Guk Mat
sebagai teman sepermainannya.
“Apa
kesukaannya, Guk?” kami bertanya.
“Menghanyutkan
diri dengan rakit dari batang pisang, lalu mandi bersama-sama di Kali Dam
sambil belajar renang gaya sungai,” lanjut Guk Mat sambil memperagakan renang
gaya sungai. “Gus Usup juga suka mencari batu-batu kecil di dasar sungai.”
“Untuk apa
batu?”
“Katanya itu
batu akik.”
“Kalau ketahuan
keluarga pondok, Gus Usup dimarahi apa nggak, Guk?”
Guk Mat
tersenyum. Sepertinya dia memang punya kenangan masa kecil yang seru dengan Gus
Usup.
“Ya, sering.
Gus Man itu, kakaknya yang paling besar, sering mencarinya. Gus Usup diseret
pulang kalau ketahuan mandi di sungai. Makanya kalau habis mandi Gus Usup nggak
berani langsung pulang.”
“Kenapa, Guk?”
kami makin ingin tahu.
“Kalau habis
mandi di sungai mata pasti merah warnanya. Makanya kalau pulang harus nunggu
lama sampai nggak merah lagi. Tapi itu dulu,” kata Guk Mat. “Sekarang Kali Dam
sudah tercemar sampah dan limbah.”
Inilah satu
kebiasaan lain Gus Usup. Kami hampir selalu melihat dia menggigit-gigit benda
kecil semacam tusuk gigi hingga kedua rahangnya bergerak-gerak. Sering dia
menggapai ranting-ranting kecil ketika berjalan, atau bagian-bagian tertentu
dari pagar bambu di tepi jalan yang dilewatinya untuk digigit-gigit
menggantikan yang telah habis di bibirnya. Mohon maaf kalau perumpamaan kami
tidak tepat. Kesukaan Gus Usup menggigit-gigit lidi itu mirip kebiasaan
burung labet yang hendak bersarang.
Seperti yang
sering kami lihat, pagi itu tampak Gus Usup berjalan meniti pematang di jauh
sana. Dia kembali pulang setelah semalam bermain kartu remi dengan orang-orang
kampung di sebelah timur, di rumah Wak Parmin dekat kuburan. Rumah Gus Usup di
lingkungan pondok dengan kampung kami memang dipisah oleh bentangan sawah. Kami
tetap tahu meski dia berjalan sambil sarungnya diangkat hingga menutup kepala.
Bila Gus Usup tidak pulang, Fadilah, keponakannya, sering mencari di pojok
kampung tempat dia bermain kartu.
Meski umurnya
terbilang lebih dari cukup, Gus Usup belum menikah. Guk Mat, teman sepermainan
Gus Usup itu, sudah memiliki tiga orang anak. Tapi Gus Usup belum ada
tanda-tanda mau menikah. Dulu kabarnya dia akan dijodohkan dengan Ning
Sokhifah, anak Gus Bay dari pondok utara, tapi tak ada kelanjutannya. Justru
Ning Sokhifah malah menikah dengan Gus Roz, adik Gus Usup dari ibu yang
berbeda. Entah mengapa Gus Usup belum menikah, padahal kalau dia mau, tinggal
memilih bidadari di kampung kami yang paling cantik pasti terkabul. Kami tahu
hampir semua gadis di sini ingin jadi menantu keluarga pondok. Para gadis pun
diam-diam berusaha menampakkan diri ketika Gus Usup yang tampan itu lewat. Tapi
memang begitulah adanya. Keluarga pondok biasanya mengambil menantu juga dari
keluarga pondok yang lain, meskipun antarmereka masih memiliki hubungan
kerabat. Tapi sayang, hubungan antarpondok sekarang banyak yang kurang akrab
karena para pengasuhnya terlibat dukung-mendukung partai politik yang berbeda.
Mereka bahkan bersaing tidak sehat dalam pencalonan anggota parlemen maupun
kepala daerah. Syukurlah hingga detik ini Gus Usup tidak termakan godaan partai
politik hingga bisa bergaul dengan siapa saja.
Sebagai teman
sepermainan Gus Usup, Guk Mat bekerja di pabrik gula. Tapi pekerjaan Gus Usup
tidak terlalu jelas buat kami. Yang pasti Gus Usup rajin ke sawah, baik yang
berada di belakang pondok maupun di sebelah utara kampung. Segala yang ditanam
Gus Usup tumbuh dengan baik. Bila musim kemarau, tanaman terong, lombok, serta
tomat berbuah dengan lebat. Saat malam, ketika kami berburu jangkrik sambil
membawa obor, terong-terong itu sering kami curi untuk dimakan mentah-mentah,
meski banyak juga di antara kami takut kalau terkena sesuatu setelah makan
terong Gus Usup.
“Perutmu
bisa mlembung kalau nyolong terong Gus Usup,”
kata Guk Mat menakut-nakuti kami.
Seperti
diceritakan oleh Guk Mat, dulu waktu mandi Gus Usup suka mencari batu akik di
dasar sungai. Dan itulah yang paling menjadi perhatian bagi kami: cincin akik
yang melingkar di jari manis Gus Usup. Batu akik sebesar ibu jari itu bermotif
sisik naga, berwarna cokelat dengan ornamen seperti sisik yang saling menindih.
Saat bermain kartu, terutama ketika malam menjelang ada orang hajatan di
kampung, akik sisik naga Gus Usup itu hampir pasti menjadi pembicaraan. Dengan
memakai akik itu konon Gus Usup tidak pernah kalah dalam bermain kartu. Kalau
toh kalah dengan taruhan uang kecil-kecilan, kata orang itu sengaja mengalah
demi menyenangkan lawan mainnya seperti Guk Mat, Guk Pin, Wak Parmin, Wak
Rokemat, Kang Marsud, Kang Maskut, Kang Gangsar, Cak Kamal, Cak Nan, dan
beberapa orang lainnya.
Mungkin karena
sering mendengar cerita soal akik Gus Usup, tidak sedikit yang berusaha
mendekat sambil menuding-nuding akik itu, terutama mereka yang berumur belasan
tahun. Gus Usup hanya tersenyum sambil tetap bermain kartu remi di acara
hajatan warga.
“Kalau
pegang kamu nggak bisa kencing dan berak,” kata Gus Usup.
“Masak,
Gus!?” Salah satu dari mereka, Dulah namanya, terjingkat.
“Lo, beneran.
Nggak bohong ini,” ujar Gus Usup kalem sambil tersenyum.
“Demi
Allah, Gus?”
“Demi
Allah,” Gus Usup manggut-manggut.
Mendengar
jawaban Gus Usup tiba-tiba semuanya terdiam. Tergambar perasaan takut pada
wajah mereka. Mereka agak menjauh. Tapi Dulah kembali nyeletuk, “Musyrik itu,
Gus. Masak pegang aja nggak bisa kencing dan berak?”
“Kamu nggak
percaya?” tanya Gus Usup sambil meletakkan sebuah kartu remi ke deretan di
depannya.
“Masak?”
“Buktikan saja
kalau berani,” Gus Usup tersenyum sambil mengulurkan lengan kirinya, sementara
kartu reminya dipindah ke tangan kanan. “Kalau tidak terbukti nanti saya beri
uang kamu.”
“Saya
berani, Gus. Bismillaahir rahmaanir rahiim.” Dulah pun menyentuhkan
ujung telunjuknya ke akik Gus Usup, agak sedikit gemetar tapi berani.
“Sudah?”
tanya Gus Usup.
“Sudah,
Gus. Nggak apa-apa kan?”
“Ayo,
sambil memegang sekarang kamu kencing dan berak di sini!”
“Wah ya
nggak mau, Gus….”
“Nggak
bisa kan? Tadi saya bilang kalau pegang. Kalau ke WC berarti sudah tidak
pegang.”
Semua yang
hadir tertawa. Dulah cengar-cengir. Beberapa saat setelah itu giliran Gus Usup
mengambil sebuah kartu remi yang tertumpuk di depannya, ditepuk-tepuk dulu
punggung kartu itu dengan jemari yang dihiasi sisik naga, digeser, diletakkan
di depannya, kemudian diintip pelan-pelan dari sudutnya.
“Ngandang!”
kata Gus Usup sambil membuka semua kartu di tangannya dengan cekatan,
diletakkan di lantai. Benar, kali ini dia memenangkan permainan. Diraupnya uang
recehan yang menumpuk di tengah karena sudah lima kali putaran belum ada yang
memenangkan. Yang lain cuma manggut-manggut kecut. Dengan sigap Gus Usup
kembali mengocok tumpukan kartu dan membagikan kepada para pemain.
“Sisik naga
dilawan,” kata Cak Nan sambil meraih gelas kopi.
“Giliranku
menang.” Wak Marsud menepuk-nepuk sisik naga di jari Gus Usup. Gus Usup hanya
tersenyum.
“Habis recehan
saya, Gus,” kata Guk Mat.
“Masih sore kok
sudah habis,” Gus Usup menimpali. “Tukarkan!”
Semua yang
bermain mengerti apa yang dimaksud Guk Mat. Mereka berharap Gus Usup membagikan
kembali uang yang telah dimenangkan. Dan memang demikianlah. Mereka yang
bermain dengan Gus Usup boleh dibilang tak pernah kalah atau merugi. Mungkin
juga tak pernah benar-benar menang. Di akhir permainan, atau ketika lawannya
sudah kehabisan uang, Gus Usup akan memberikan kembali uang itu. Mereka
lama-lama merasa sungkan. Ketika Gus Usup kalah dan kehabisan uang, mereka pun
memberikan kembali uang modal kepada Gus Usup. Akik sisik naga di jari manis
Gus Usup akhirnya menjadi harapan mereka, karena kalau Gus Usup menang pasti
uangnya akan dibagikan kembali.
Dulu, ketika
kami belajar mengaji dan berlatih bela diri di pondok, akik sisik naga Gus Usup
juga menjadi perhatian. Kami berlatih tenaga dalam. Untuk mengujinya, salah
seorang di antara kami harus nyetrum, sejenis trans tapi masih
dalam kesadaran utuh sebagai penyerang. Gus Usup dengan enaknya berkata kepada
kami sambil meletakkan akik sisik naganya di lantai. Kami tahu, akik itu sudah
diisi oleh Gus Usup dengan bacaan tertentu.
“Silakan nyetrum,
datangkan semua kekuatan dan ambillah ini!”
Benar, kami
semua terpental. Tak seorang pun yang berhasil mengambil akik itu meski seluruh
tenaga dalam sudah kami datangkan saat nyetrum. Isian akik itu
benar-benar berat. Gus Usup tak pernah membuka rahasianya. Entah ayat
atau asmaul husna apa yang dibacakan. Kami makin hormat dengan
Gus Usup.
Gus Usup
sepertinya juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat
berjamaah waktu belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang
waktu itu masih anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan
saling mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling
belakang. Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf
terdepan bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki
dengan sajadah. Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa
yang tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama
kalau ada Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap
Gus Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan
dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat
berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah
salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah
diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan
pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak
tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji
Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani
ke pondok.
Uang recehan
Guk Mat sudah benar-benar habis. Beberapa kali putaran dia tidak pernah
memenangkan permainan kartu remi itu. Gayanya membanting kartu sudah tampak
bahwa dia agak kesal karena belum pernah nyirik. Sementara dia
melihat di depan Gus Usup uang recehan mengumpul sebagai bukti kemenangan.
Tiba-tiba Gus Usup pamitan ke belakang. Dia minta permainan dilanjutkan saja.
Hari memang semakin beranjak malam. Semua pemain juga sudah pernah pamit ke
belakang untuk kencing. Dengan sedikit terburu-buru Gus Usup masuk kembali dan
melemparkan jaketnya ke Guk Mat.
“Titip
sebentar, biar tidak basah!” kata Gus Usup.
Jaket tentara
warna hijau yang sudah memudar itu berada di pangkuan Guk Mat, baunya apak
kayak karung karena mungkin sudah lama tak dicuci. Permainan berlangsung terus
meski harus melangkahi giliran Gus Usup. Sampai satu putaran usai Gus Usup
belum juga kembali. Entah mengapa kali ini lama. Dari tadi memang Gus Usup
tampak kurang nyaman sambil memijit-mijit perutnya.
“Mumpung tak
ada Gus Usup. Menang!” kata Guk Mat dengan yakin.
“Aku yang harus
menang,” Cak Kamal menimpali.
“Jangan mulai
dulu. Kita tunggu Gus Usup datang,” usul Cak Nan.
“Kan kita
disuruh terus tadi?” Kang Marsud ingin berlanjut.
“Gak enak ah!”
sergah Cak Nan.
“Lanjuuut…!”
Guk Mat tak mau membuang-buang waktu. Kartu remi itu dikocok dengan cepat.
Diletakkan di tengah, barangkali ada yang mau mengocok lagi karena tidak puas.
Tidak ada. Guk Mat segera membagikan kartu itu satu per satu. Permainan pun
berlanjut. Ketika semua asyik mencermati kartu, Gus Usup muncul dan pamitan
pulang dengan terburu-buru. Tanpa menunggu tanggapan dia langsung pergi dengan
mengucapkan satu kalimat pendek, “Perutku nggak enak.” Uang recehannya juga
ditinggal.
Kepulangan Gus
Usup membuat para pemain bersemangat untuk memenangkan. Cuaca malam makin
dingin. Guk Mat baru tersadar bahwa jaket Gus Usup masih di pangkuannya. Tanpa
berpikir panjang dia memakainya untuk menghangatkan badan. Kepulangan Gus Usup
membuat peluang mereka untuk menang makin besar karena musuhnya berkurang satu
orang. Kali ini benar-benar tampak serius di wajah mereka. Mata mereka melihat
ke lantai ketika ada kartu yang dibanting. Setiap ada kesempatan mengambil
kartu selalu dibarengi harapan agar bisa ngandang alias
menang. Cara mereka membuka kartu juga sangat hati-hati, ditarik ke depannya
dan diintip pelan-pelan dari pojok. Membuka kartu adalah membuka nasibnya
sendiri. Tumpukan kartu di depan mereka juga makin menipis, seperti gundukan
pasir yang makin lama makin tipis karena disapu angin.
“Nutup!” kata
Guk Mat tiba-tiba, sembari membuka kartunya ke lantai. Uang recehan yang
menumpuk di tengah itu disiriknya. Dia pun bergegas meraup kartu
untuk dikocok ulang. Darah baru tampak merambat di wajahnya.
Tanpa kehadiran
Gus Usup permainan bukan makin mengendor, tapi makin bersemangat. Hari makin
malam dan masuk ke dini hari. Mereka tidak lagi bertaruh dengan recehan, uang
kertas yang tadi hanya ngendon di saku kini keluar dengan warna-warninya.
Permainan kali ini bukan sekadar cari hiburan atau menghabiskan waktu, tapi
benar-benar mempertaruhkan nasib untuk meraih kemenangan. Putaran demi putaran
berlangsung. Meski tidak sama kadarnya, rata-rata dari mereka sudah pernah
memenangkan dari putaran-putaran sebelumnya. Lihatlah, uang-uang kertas tampak
di depan mereka. Di depan Guk Mat tampak lebih banyak karena dia lebih
sering nyirik. Recehan tidak lagi bermakna, bahkan disisihkan.
Tiap rentetan
peristiwa pasti mencapai puncaknya. Titik kulminasi terjadi bukan tiba-tiba,
tapi mengalir dengan pasti, seperti suhu pada tungku pembakaran yang
mendidihkan air. Begitu juga permainan kartu kali ini. Mereka yang kehabisan
modal telah tersingkir. Tidak ada lagi pembagian recehan seperti kalau bersama
Gus Usup. Kopi-kopi di tempatnya sudah tinggal ampas dan memadat. Ayam berkokok
sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi beduk subuh ditabuh. Di arena permainan
itu menyisakan tiga orang: Guk Mat, Cak Kamal, dan Kang Marsud. Mereka yang
tersisih kini sebagai penonton saja. Sudah lima putaran belum ada yang
memenangkan. Sementara tiap ganti putaran uang taruhan selalu ditambahkan.
“Sudah, ini
yang terakhir!” kata Kang Marsud ketika memulai lagi permainan.
“Oke, yang
terakhir. Ini semua!” Cak Kamal mendorong semua uangnya ke tengah. Tanpa sisa.
Mau tak mau
semua harus menambah taruhan sebesar yang disodorkan Cak Kamal. Uang Kang
Marsud ternyata tak cukup. Terpaksa harus ditambah dengan recehan yang tadi
ditinggalkan Gus Usup di dekatnya.
“Pinjam, Gus,”
kata Kang Marsud sambil menghitung recehan.
Inilah
pertaruhan nasib di titik-titik akhir. Sudah tak ada lagi taruhan yang
ditambahkan. Dompet-dompet sudah terkuras. Tampak mereka makin berkonsentrasi.
Kartu yang dibawa juga makin rapat dirahasiakan agar tidak diintip oleh lawan.
Cara mereka membanting kartu juga makin keras. Setiap kartu yang dibanting
selalu diikuti oleh pandangan mereka. Selalu waswas, jangan-jangan kartu yang
dicari sudah terbanting di arena. Mereka yang menonton juga berharap cemas.
Ingin tahu siapa yang berhasil meraup uang yang menumpuk di tengah arena itu.
Seperti juga
memancing. Ada debaran dan harapan agar ikan segera menggondolnya. Ikan itu
kali ini tidak lain adalah kartu remi. Mata mereka makin membuka. Jantung
mereka makin mendebar. Alir darah mereka juga makin menderas. Beberapa putaran
kartu-kartu yang mereka buru juga belum ketemu. Sepertinya mereka saling
mengetahui kartu-kartu yang diburu sehingga dicengkeram makin rapat. Waktu
makin merambat dengan pasti. Kokok ayam makin kerap terdengar.
“Nah, ngandang!”
kata Guk Mat dengan cepat. Semua kartu yang dipegangnya dibanting ke lantai
dengan terbuka. Semua mata spontan ikut menatap. Benar! Guk Mat memenangkan
permainan. Wajahnya tampak berbinar-binar. Darah segar sepertinya langsung
menderas ke tubuhnya. Gunungan uang di tengah arena langsung diraupnya mendekat.
Sementara Kang Marsud dan Cak Kamal melemas karena pertaruhan nasib semalam
suntuk harus berakhir dengan pahit. Ketidakhadiran Gus Usup telah membuat
dompetnya terkuras. Mereka berdua percaya, sebentar lagi istrinya ngomel-ngomel
karena tak kebagian uang belanja. Permainan pagi itu pun bubar.
Sesampai
di rumah Guk Mat langsung masuk kamar. Uang yang tadi digembol dalam perut
jaket segera dikeluarkan. Lembar demi lembar menggumpal dengan warna-warna
campuran. Sekian banyak rupiah dari banyak orang telah mengumpul di tangan Guk
Mat. Dia ingin menghitung cepat-cepat dan menyembunyikan agar tidak ketahuan
istrinya.
Guk Mat
teringat, di tengah permainan tadi dia juga sempat menyembunyikan uang
kemenangan di saku jaket Gus Usup yang dipakainya. Uang itu segera dikeluarkan.
Ah, jumlahnya makin banyak pula. Kantong saku jaket sebelah kiri telah
dirogohnya. Kini dia berganti merogoh saku jaket sebelah kanan. Terasa ada
benda aneh di tangannya. Segera dikeluarkan. Guk Mat terjingkat. Sisik naga!
Akik Gus Usup itu ternyata ikut tertinggal di saku jaketnya. Entah ini
disengaja atau tidak oleh Gus Usup. Mata Guk Mat tak berkedip melihatnya. Ada
getaran di jemarinya.
Tangan
Guk Mat belum juga berubah. Akik sisik naga milik Gus Usup itu terus
diperhatikan di kedua ujung jarinya. Dia mulai berpikir, apakah kemenangan
terbesar yang diraupnya kali ini terkait dengan akik sisik naga di sakunya? Dia
sadar bahwa benda itu milik Gus Usup, tapi lama-lama timbul keinginan pada diri
Guk Mat untuk memiliki sisik naga itu. Guk Mat terpaku di atas dipan kamarnya.
Uangnya masih menggelasah di tikar. Guk Mat menimbang-nimbang,
cara apakah yang paling ampuh agar sisik naga itu terus berada di genggamannya?
Jombang-Surabaya, 2016
Sumber : https://basabasi.co/sisik-naga-di-jari-manis-gus-usup/
Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen
Cerpen dengan judul Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup karya M. Shoim Anwar menggunakan sudut
pandang orang ketiga. Jenis alurnya yaitu alur campuran. Suasana yang
ditampilkan dalam cerpen di atas
menyenangkan dan menegangkan. Suasana menyenangkan tampak ketika Gus Usup beserta
teman-temanya bermain remi dan suasana menegangkan terjadi saat menunggu
kemenangan. Latar tempat pada cerpen di atas terjadi di sekitar lingkungan
pondok dan di jalan. Latar waktunya adalah malam, larut malam, menjelang pagi
hingga pagi hari. Gus Usup adalah tokoh utama yang memiliki karakter murah
senyum, baik hati, tidak sombong, dan mudah bergaul. Cerpen di atas dibuat pada
tahun 2016 dari kota Jombang ke kota Surabaya.
Isi yang Terkandung dalam Cerpen
Cerpen dengan judul Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup karya M. Shoim Anwar menceritakan
tentang akik yang memiliki motif sisik naga milik Gus Usup yang menjadi
perhatian banyak orang. Akik tersebut dianggap membawa keberuntungan oleh teman-teman
dan orang sekitar Gus Usup karena setiap Gus Usup bermain kartu remi dengan
teman-temannya, Gus Usup selalu menang. Bahkan, Guk Mat pernah membuktikan
sendiri. Ia menang dalam permainan padahal ia biasanya selalu kalah. Hal ini karena
akik Gus Usup tersebut tidak sengaja tertinggal di saku jaket miliknya. Namun,
Guk Mat justru berpikir untuk menguasai akik sisik naga milik Gus Usup
tersebut.
Sikap berbeda tampak pada
Gus Usup. Meskipun Gus Usup selalu memenangkan permainan, uang yang ia dapatkan
tidak pernah ia bawa pulang. Ia justru membagikan uang tersebut kepada
teman-temannya. Gus Ucup sangat dihormati di lingkungan rumahnya karena Gus
Usup merupakan salah satu anak laki-laki keluarga pondok. Ia memunyai wajah yang
tampan. Ia pernah akan dijodohkan dengan Ning Sokhifah,
tetapi malah menikah dengan Gus Roz, adik Gus Usup dari ibu yang berbeda.
Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen
Makna dan pesan yang terkandung dalam cerpen dengan judul Sisik Naga di Jari Manis Gus
Usup karya M. Shoim Anwar adalah
1.
Berbuat
baiklah kepada sesama, seperti sifat yang ditampilkan Gus Usup pada cerpen di
atas.
2. Jangan
mempunyai fikiran untuk mengambil suatu barang yang bukan milik kita. Sebaiknya
barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, seperti sifat Guk Mat yang
tampak pada akhir cerpen di atas.
3. Jangan
mudah percaya dengan sesuatu hal yang belum tentu kebenarannya. Apalagi percaya
terhadap benda mati yang dianggap mempunyai keberuntungan. Hal itu merupakan
salah satu sifat musrik.
Perbandingan dengan Aktual
Cerpen dengan judul Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup karya M. Shoim Anwar masih sesuai dengan
kehidupan saat ini. Namun, ada sedikit perbedaan. Kepercayaan
orang-orang terhadap akik bermotif sisik naga yang dimiliki oleh Gus Usup pada cerpen
di atas dapat dijumpai pada masa sekarang. Kepercayaan terhadap suatu benda
masih dimiliki oleh beberapa kalangan di masyarakat, seperti masyarakat Jawa. Namun,
kepercayaan pada batu akik dapat dijumpai pada beberapa tahun lalu. Ada
fenomena batu akik yang membuat semua orang berlomba-lomba memiliki dan mengoleksinya.
Bahkan, harga beberapa jenis batu akik menjadi sangat mahal. Apalagi batu akik
tersebut dianggap membawa keberuntungan bagi pemiliknya. Masyarakat yang peraya
akan hal tersebut juga memperlakukan dengan istimewa dengan memandikan dengan
bunga tujuh rupa pada hari-hari tertentu.
Kemudian, sifat yang ditampilkan oleh Gus Usup kurang sesuai dengan
kehidupan saat ini. pada cerpen di atas, dijelaskan bahwa ketika Gus Usup
memenangkan permainan remi, ia justru membagikan uang atau mengembalikan yang
ia dapatakan kepada teman-temannya. Namun, sifat Gus Usup tersebut berdanding
tebalik dengan kehidupan saat ini. Kebanyakan orang-orang yang mendapatkan
kemenangan, justru menjadi kebanggaan tersendiri untuk mereka. Berbeda dengan
sifat Guk Mat pada cerpen di atas. Ketika akik Gus Usup tidak sengaja
tertinggal di saku jaket miliknya. Guk Mat justru berpikir untuk menguasai akik
sisik naga milik Gus Usup tersebut. Sifat yang ditunjukkan Guk Mat tersebut
masih sesuai dengan keadaan saat ini. Namun, ada pula segelintir orang yang
masih sadar untuk mengembalikan barang yang bukan miliknya.