Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

Archive for April 2021

KRITIK CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI"


.

SULASTRI DAN EMPAT LELAKI

Karya M. Shoim Anwar

 

LAUT menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.

Sementara tak jauh di sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan  dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.

Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melihat ke bawah.

“Hai…!” seru polisi dari arah pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak menjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.

Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.

Sulatsriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.

Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.

Na’am?” lelaki itu meminta.

Laa,” Sulastri menggeleng pelan.

Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul kekhawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai di atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang polisi mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya tampak seperti berkejaran. Sesampai di ujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.

Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.

Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak menjauhi pantai. Di ujung tanggul  Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.

Di bibir Laut Merah, Sulastri  teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo.

“Sudah dapat?” tanya Sulastri. Seperti biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakainnya yang basah.

“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh ujung janggut.

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.

Bayangan tentang sang suami menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang tiba-tiba datang. Laut Merah bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.

“Firauuun…!”

Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pakaian gemerlap yang menutup pusar hingga lutut Firaun telah sampai di atas tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan. Di hadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok. Perempuan itu menoleh ke sana ke mari dengan tergesa, mencari-cari orang yang dikenal sebagai penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri berteriak padanya untuk minta tolong. Tapi sang polisi tak memberi reaksi berarti, dia hanya melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kemudian kembali masuk pos.

“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

“Aku bukan budak.…”

“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

Sulastri terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolongnya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.

Sulastri terhenyak. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa….”

Lelaki itu manggut-manggut. Tangan kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdiri kokoh di atas tanggul. Angin bergolak di sana.

“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

“Kami menderita, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

“Tolonglah saya, Ya Musa….”

Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dalam pandangan Sulastri. Dari atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.

Wa maadzaa turiidiina aidlon?” polisi bertanya apa lagi yang diinginkan  Sulastri.

“Tolong… tolonglah  saya.…”

Polisi menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung. Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah  benar-benar di belakang Sulastri. Dan Firaun memang sudah hampir menangkapnya.   Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hapir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya.

Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.

Sulastri  mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri. (*)

.

.

Laut Merah – Surabaya, 2009- 2011

Sumber : https://lakonhidup.com/2011/12/05/sulastri-dan-empat-lelaki/


 

Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen

Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tokoh utamanya yaitu Sulastri, sedangkan empat lelaki yang dimaksud adalah polisi, Markan (suami Sulastri),  Musa, dan Firaun. Latar tempat pada cerpen di atas yaitu di tanggul, di bibir atau tepi Laut Merah, dan di padang pasir. Alur yang digunakan yaitu alur campuran. Hal ini terlihat ketika di tengah cerita, Sulatri berada di bibir Laut Merah mengingat atau membayangkan tentang suaminya, Markam. Lalu, cerita kembali dilanjutkan dengan bertemunya Sulatri dengan Firaun. Latar waktu yang digunakan yaitu siang hari. Hal ini terbukti pada kutipan “Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari.“ dan “Butir-butir pasir digoreng Matahari.” Kemudian, suasana yang ditampilkan dalam cerpen di atas adalah suasana mendebarkan atu mencekam yang nampak ketika Sulastri dikejar Firaun dan ketika  Sulastri takut di tangkap oleh polisi.

Berbeda dengan cerpen-cerpen yang saya kritik sebelumnya. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar ini sering kali menggunakan kata-kata kias. Banyak majas didalamnya salah satunya adalah majas hiperbola. Penggunaan gaya bahasa membuat cerpen ini menjadi lebih hidup dan lebih menarik untuk dinikmati oleh pembaca. Pembaca seolah-olah ikut serta dalam cerita tersebut, seakan ikut merasakan kejadian yang ada dalam cerpen tersebut. Contoh gaya bahasa yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Butir-butir pasir digoreng matahari.

Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan.

Sendi-sendinya seperti hendak rontok.

Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya.

Dengan latar di Arab sana, isi cerpen Sulastri dan Empat Lelaki mengingatkan tentang kisah seorang nabi pada waktu itu. Cerpen ini dibuat oleh M. Shoim Anwar pada tahun 2009 sampai 2011 di kota Surabaya.

 

Isi yang Terkandung dalam Cerpen

Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mengisahkan tentang Sulastri yang sedang berada di Arab untuk bekerja. Suami Sulastri yaitu Markam kurang bertanggungjawab terhadap dirinya dan anaknya. Markam justru mengabdikan hidupnya untuk bertapa di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Ketika Sulastri berada diujung tanggul, ia dipanggil oleh seorang polisi. Namun, Sulastri tidak menghiraukannya. Sulastri takut ditangkap dan di deportasi seperti teman-temannya, yang kemudian menjadi gelandangan. Sulastri dan Polisi sempat kejar-kejaran. Tetapi, Sulastri tidak kehilangan akal. Ia bersembunyi dibalik patung-patung abstrak. Hingga akhirnya, polisi tersebut kembali ke pos.

Sulastri adalah orang biasa. Kekecewaan Sulastri terhadap perlakuan suaminya terhadap dirinya dan anaknya masih ia ingat. Namun, tiba-tiba datanglah Firaun yang ingin menjadikan Sulastri sebagai budaknya. Kemudian, Musa datang menyelamatkan dirinya. Musa berpesan agar dirinya dan suaminya bekerja dengan halal dan tidak melakukan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan yaitu dengan menyembah berhala. Seketika Musa menghilang. Sulastri nampak ketakutan dan minta tolong kepada polisi tadi. Namun, Firaun terus mengejar Sulastri hingga rambutnya dijambak dari belakang. Lau, Musa muncul kembali dan membantu Sulastri. Sulastri memukulkan tongkat yang diberikan Musa tersebut ke tubuh Firaun. Hingga pada akhirnya tubuh Firaun berubah menjadi pasir dan tenggelam. Sulastri pun tersadar bahwa tongkat yang ia pegang tidak ada.

 

Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen

Makna dan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar yaitu:

1.    Bekerjalah dengan cara yang halal.

2.    Janganlah menyebah berhala, karena yang patut disembah hanya Allah SWT.

3.    Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.

4.    Jadilah seorang suami yang bertanggungjawab atas kewajiban dalam menghidupi istri dan anak.

5.    Untuk pemerintah, buktikan janjimu kepada rakyat ketika sebelum menjabat. Jangan hanya demi kekuasaan saja sehingga menyengsarakan masyakarat yang terlanjur percaya.


Perbandingan dengan Aktual

Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Percaya atau tidak percaya, di zaman yang serba modern seperti saat ini, masih banyak orang yang bekerja dengan cara yang tidak baik atau tidak halal dengan melakukan berbagai cara. Salah satunya dengan menyembah setan untuk mendapatkan kekayaan. Hal itu dilakukan semata-mata demi menjaga harga dirinya di depan orang lain agar tidak dihina sebagai orang miskin. Mereka kurang mensyukuri apa yang mereka dapatkan. Bahkan, ada pula yang mengorbankan anggota keluarga mereka sebagai tumbal demi kelancaran dalam mendapatkan yang mereka inginkan. Kelakuan ini tidak patut untuk ditiru. Masih banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan selagi kita mau berusaha. Tuhan menciptakan semua yang ada di bumi untuk kita manfaatkan sebaik mungkin.

Kemudian, untuk suami yang kurang bertanggungjawab seperti Markam, juga masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Sering kali rumah tangga berakhir hanya karena masalah ekonomi. Ketika seorang istri berniat membantu perekonomian keluarga, sering kali dimanfaatkan oleh suami. Hingga membuat suami lupa akan tanggungjawabnya sebagai kelapa keluarga yaitu menghidupi istrinya dan anaknya. Selanjutnya, lagi-lagi untuk pemerintah yang masih sesuai dengan kejadian saat ini. Ada beberapa pejabat yang hanya janji-janji saja saat pemilu untuk mendapatkan suara yang banyak dari rakyat. Namun, ketika rakyat memilihnya dan telah mempercayainya, mereka justru lupa dengan tanggungjawabnya, lupa dengan janjinya. Hal ini nampak seperti kasus-kasus korupsi yang selalu terjadi. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya sendiri.

 

Hubungan Cerpen dengan Berbagai Masalah

Jika diperhatikan, cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mempunyai hubungan dengan berbagai masalah berikut ini.

a.    Ideologi dan Religi

Ideologi adalah cara berpikir yang dijadikan pendapat untuk memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Sedangkan religi adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Hubungan dengan masalah ideologi yang bercampur dengan unsur religi nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Kutipan Pertama

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.

 

Kutipan cerpen di atas menjelaskan tentang kepercayaan yang di anut suami Sulastri yaitu Markam. Markam mengabdikan hidupnya di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Hal tersebut dijadikan Markam sebagai ideologi dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Namun, cara berpikir Markam sangatlah salah. Sulastri sudah mengingatkan Markam. Tetapi, ucapan Sulastri tidak dihiraukan. Bahkan, Markam rela menghanyutkan diri hingga Tegal Rejo untuk bertapa. Markam meninggalkan Sulastri dan anaknya. Tindakan Markam tersebut juga termasuk dalam unsur religi. Dimana Markam lebih percaya dengan benda mati seperti kuburan dan benda-benda pusaka dibandingkan dengan Tuhan. Yang artinya, Markam telah menduakan Tuhan. Demi mendapatkan keuntungan dan merubah nasib hidupnya, Markam rela bersekutu dengan setan.

Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dengan Firaun seperti pada kutipan cerpen di bawah ini.

 

Kutipan Kedua

“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

“Aku bukan budak.…”

“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

 

Pada kutipan percakapan di atas, menceritakan bahwa Firaun ingin menangkap Sulastri. Firaun menganggap Sulastri sebagai budaknya. Hal ini terjadi bukan tidak ada sebab. Firaun datang karena kelakuan Sulastri dan suaminya yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan seperti mengabdikan diri ke makam untuk mendapatakan benda-benda pusaka dan bersemedi di sungai. Peristiwa yang dialami Sulastri tersebut adalah sebagai akibat kelakuannya pada kutipan pertama. Lalu datanglah Musa yang berdialog dengan Sulastri pada kutipan di bawah ini.

 

Kutipan Ketiga

“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

“Kami menderita, Ya Musa.”

 

Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dan Musa di atas. Dialog tersebut masih berhubungan dengan kutipan kedua. Dalam dialog tersebut, menceritakan bahwa Sulastri meminta tolong kepada Musa ketika dirinya dikejar Firaun. Musa mengatakan bahwa Sulastri telah masuk ke Arab dalam keadaan tidak baik yaitu karena kelakuannya dengan suaminya saat berada di negaranya, yang dijelaskan pada kutipan pertama. Musa mengingatkan agar Sulastri tidak bergantung pada suaminya karena suaminya penyembah berhala atau musrik, tidak percaya kepada Tuhan. Namun, Sulastri membela diri dengan mengatakan dirinya hanyalah seorang perempuan. Musa pun berkata bahwa mau perempuan atau laki-laki mempunyai kewajiban untuk mengubah nasibnya sendiri. Akan tetapi, Sulastri tetap membela diri dengan berkata negaranya miskin. Kemudian, Musa menjawab bahwa negara tempat Sulastri tinggal itu kaya. Lalu, Sulastri mengatakan dirinya tidak punya pekerjaan. Hal itu terjadi karena malas dan menyukai jalan pintas, begitu kata Musa. Percakapan Sulastri dengan Musa sebenarnya mempunyai makna yaitu kita sebagai manusia haruslah berusaha dan tidak bermalas-malasan. Bekerjalah dengan cara yang jujur, dengan cara yang diridhoi oleh Tuhan. Jangan memperkaya diri dengan mencari jalan pintas seperti menyembah berhala dan bertapa yang dilaukan oleh Markam.

 

b.   Politik

Politik adalah segala tindakan yang dilakukan seperti kebijakan oleh pemerintah negara atau terhadap negara lain. Hubungan dengan masalah politik nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Kutipan Keempat

Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.

Pada kutipan cerpen di atas, dijelaskan bahwa polisi juga bekerja sama dengan para perantara. Polisi tidak mungkin menangkap Sulastri untuk diserahkan kepada kedutaan untuk dideportasi karena ia hanya seorang diri. Para perantaralah yang bertugas menyerakan kepada polisi dengan imbalan seribu real per orang, sehingga polisi mendapat untung setidaknya tujuh ratus real per orang dan sisanya untuk diberikan kepada para perantara. Yang lebih buruk lagi, jika para perantara tersebut juga dari negara yang sama dengan Sulastri. Kejadian dalam kutipan cerpen tersebut termasuk ke dalam unsur politik. Dimana terjadi suatu transaksi disana. Polisi menjalankan tugasnya dengan syarat ada imbalan diluar gaji yang telah mereka terima dari pemerintah. Tindakan polisi tersebut tidaklah jujur dan membuat mereka yang bekerja di luar negeri seperti Sulastri menjadi serba kesulitan dan sengsara. Terlebih seperti yang dialami oleh teman-teman Sulastri yang hidup menggelandang.

c.    Sosial

Sosial adalah sikap memperhatikan kepentingan umum, seperti menolong dan bersedekah. Hubungan dengan masalah sosial nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.

Kutipan Kelima

Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.

 

Pada kutipan cerpen di atas menceritakan bahwa Musa menolong Sulastri saat Sulastri dikejar Firaun seperti pada kutipan kedua. Sikap tolong-menolong yang ditunjukkan Musa tersebut terhadap Sulastri termasuk ke dalam unsur sosial. Musa memberikan tongkat kepada Sulastri. Tongkat tersebut memberikan kekuatan kepada Sulastri. Sulastri pun memukulkan tongkat tersebut ke badan Firaun ketika Firaun akan menerkam dirinya. Seketika Firaun berubah menjadi pasir dan tubuh Firaun tersedot. Kemudian, tongkat tersebut pun menghilang.

 

 

 


KRITIK CERPEN "DI JALAN JABAL AL-KAABAH"


.

 

DI JALAN JABAL AL-KAABAH

Oleh M. Shoim Anwar

Dari arah Jarwal Al-Tayssir kendaraan itu meluncur mendahului para pejalan kaki yang semakin ramai, melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus ke Umm Al-Qura Road. Jalanan menanjak dan beberapa saat kemudian menurun kembali. Suasana mulai terasa berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan itu lantas berbalik arah, menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan penumpang di pemberhentian. Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan yang datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan tinggi terasa menggetarkan seluruh ruang.

Setelah turun dari angkutan umum, dengan langkah tergesa, Tuan Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah, setengah berlari mengikuti langkah sang suami. Orang-orang pun terburu mengejar waktu. Eskalator itu naik dan menyembul di pelataran sehingga orang-orang tampak seperti muncul dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah sampai di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat pintu samping mereka lantas naik ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66 bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper dipenuhi orang, tapi suasana khusuk sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak sambil pandangannya menerawang.

“Aku teringat anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan sana,” katanya sambil menuding ke arah jalan.

“Ya, sudah agak lama kita tidak memberi mereka,” Nyonya Tilah menimpali.

“Besok kita sempatkan jalan kaki agar bisa memberi.”

“Semoga Allah selalu memberi rezeki buat mereka semua.”

“Siapa tahu mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menguji rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.

Hari-hari terakhir ini Tuan Amali dan Nyonya Tilah naik kendaraan untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka selalu berjalan kaki saat pulang dan pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu melihat deretan anak-anak berkulit hitam duduk di tanah sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda meminta sedekah. Dengan baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan buntungnya agar dilihat semua orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul selepas Jalan Jabal Al-Kaabah hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi memelas mereka mengharap belas kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan Amali berpikir anak-anak yang malang itu adalah korban peperangan, atau terkena ledakan bom hingga kedua lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita kelainan genetis akibat pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul secara dominan dari bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun perempuan, sekitar sepuluh tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan sekitar lima anak.

Seperti orang-orang lain Tuan Amali dan Nyonya Tilah juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak buntung yang malang itu. Uang sedekah diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka memperoleh jumlah yang besar karena banyak orang mengasihani dari hari ke hari. Tuan Amali dan istrinya bersedekah dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan ke kota itu juga untuk menjalankan perintah agama. Sedekah yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan memberi dan tangan kiri tak mengetahuinya.

“Jangan lupa titipan doa dari Pak Mardho,” kata Nyonya Tilah.

“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk, ingat pesan Pak Mardho yang minta didoakan di lantai teratas masjid ini sambil menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya. Anak perempuannya, si Ayu, semoga segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan dan jodoh yang mapan. Sudah beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di atas kertas itu dibaca oleh Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi bawahan Tuan Amali, Pak Mardho juga minta didoakan agar tidak terlalu lama menduda. Dua hari sebelum berangkat Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak Mardho, bapaknya atau anaknya yang diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah si Ayu selama ini ke mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri? Waktu diundang berbuka puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena ada syukuran di rumah sepupunya itu?

“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di tangan Allah,” jawab Pak Mardho.

“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan Amali menimpali sambil tertawa.

“Doakan juga agar pemikiran penduduk kita berubah.”

Kata-kata “rezeki di tangan Allah” itulah yang hampir selalu menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa yang bukan penduduk asli di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya selalu gagal untuk mengubah jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,” rezeki di tangan Allah”, maka ketika tangan mereka menadah dan orang lain mengulurkan tangannya untuk memberi adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”. Pagi-pagi mereka menyebar ke berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan kumal agar menimbulkan belas kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.

Mereka yang mengemis secara berkelompok akan membagi penghasilan mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka juga bersepakat membagi secara merata penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa hidup, buat rumah, beli sawah, beli ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari hasil mengemis. Mereka ada yang mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras suara untuk berkeliling dari kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan tempat-tempat ramai dengan menyodorkan kaleng, serta ada pula yang mencegat di jalan-jalan. Juga ada di antara mereka yang mengemis memakai surat atau proposal yang terlaminating hingga kumal. Di mata para kepala desa yang lain, karena desanya dikenal sebagai ”desa pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki sebagai “lurahnya pengemis”.

Tuan Amali dan istrinya telah menunaikan salat sunah beberapa kali. Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali memanjatkan doa untuk diri dan keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir untuk penduduknya di kampung halaman sana.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tidak akan mengubah nasib suatu kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Untuk itu ya Allah, hamba memohon kepada-Mu agar membuka hati dan sifat peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup dan penghidupan yang lebih terhormat….”

Di saat Tuan Amali khusuk berdoa, helikopter itu datang kembali, berputar-putar dengan dengan suara menderu. Setiap kali melintas di atas kepala, orang yang duduk bersila melihatnya dengan pandangan menyerah, seperti menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak menentukan nasib mereka selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil Haram ini langit memamang selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak ubahnya penguasa tunggal yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di bawahnya. Ketika heli itu menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan khusyuk, melafalkan ayat-ayat dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih tersisa di telinga. Sebentar lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali beberapa saat kemudian.

Matahari condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan sabit sudah tampak merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di balik tiga buah kubah warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah memanfaatkannya dari sengatan matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan jangkung di sekeliling semakin jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu di ujung tiang akan segera menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru dari pengeras suara di tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam menggema ke langit bersama embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Sang Pencipta.

Jalan Jabal Al-Kaabah adalah wilayah yang sangat ramai karena merupakan akses mendekati masjid. Hari ini Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di depan Al Hadeel Hotel, di saat situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat seseorang memotret salah satu anak buntung yang meminta-minta. Tiba-tiba seorang perempuan bercadar hitam menghalangi pemotretan itu. Maksudnya sangat jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang bilang perempuan bercadar itulah yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk meminta-minta. Keganjilan lain segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat mendekati salah satu anak dan meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher. Dengan cepat pakaian anak itu ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan mereka. Ternyata lengan anak-anak itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas pergelangan lantas dimasukkan ke dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan ujungnya saja karena takut ketahuan lekuk lengannya yang disembunyikan.

Mengetahui kejadian itu tiba-tiba Tuan Amali merasa perlu bertindak lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak itu sudah menipu orang banyak. Ini adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh dibiarkan di depan mata. Dengan agak kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian salah satu anak yang pura-pura bunting itu. Si anak menolak. Mungkin karena jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong dan ditebah dengan sajadah. Perempuan bercadar yang memperalat si anak tampak segera mendekat. Tapi seorang lelaki lain berkopiah cokelat dengan nada bersemangat mencoba membela si anak.

“Apa urusanmu dengan dia?” katanya dengan nada tinggi, mimiknya tampak serius.

“Mereka telah mengotori tanah suci!” jawab Tuan Amali tak kalah sengit.

“Mereka tidak memaksa. Tidak ada yang dirugikan. Kalau kamu tidak mau memberi ya sudah!”

“Niat saya hanya satu, menyingkap kebohongan terhadap orang banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan dalam kerumunan. Beberapa orang melihat ke arah mereka secara bergantian.

“Meminta-minta adalah urusan pribadi!”

“Tapi meminta-minta dengan cara menipu tidak bisa dibenarkan.”

“Mereka anak-anak yang miskin!” lelaki berkopiah coklat itu menuding-nuding ke belakang.

“Anak-anak itu mungkin tidak miskin. Mereka diperalat oleh perempuan tadi!”

“Mengapa kamu tidak berani bilang begitu sama dia?”

“Omongan sudah tidak mempan buat dia, tapi harus dengan tangan kita.”

“Kamu tidak punya hak!”

“Ini juga salah satu cara yang saya tempuh. Memang pahit, tapi harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!” tegas Tuan Amali.

“Kamu harus bisa mengendalikan kesabaran di sini.”

“Kesabaran bukan berarti diam ketika melihat kejahatan!”

Tuan Amali dan lelaki berkopiah coklay it uterus beradu mulut sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling melihat. Jarak mereka merenggang karena didesak orang-orang yang berjalan. Sesekali nada suaranya terdengar ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah tidak saling melihat wajah masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar hingga menjauh sebelum pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.

Sementara itu anak-anak yang pura-pura buntung itu tetap duduk di tempat. Sesekali mereka melihat ke sekeliling untuk mengetahui apakah ada polisi pamong praja atau tidak. Memang polisi kadang-kadang mengobrak mereka, tapi mereka segera bereaksi kembali ketika polisi telah menjauh. Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi rupanya hanya gertak sambal, tidak pernah menangkap dan menangani dengan serius.

Tuan Amali berhenti di depan pertokoan yang mempertemukan Jalan Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim. Sinar matahari menyengat. Sajadah yang dibawanya dipakai untuk menutup kepala. Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak tidak silau. Terasa ada keringat mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi tindakannya tadi hingga bertengkar mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan Amali menimbang-nimbang, dia tetap yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus dipertahankan kesuciannya. Beberapa saat dia tercenung di antara orang-orang yang lalu lalang di depannya. Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu ramai.

Tiba-tiba Tuan Amali terkejut. Seorang lelaki tua bersongkok hitam menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Tuan Amali ingin menyebut nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa bimbang. Dirogohnya saku kanan untuk mengambil beberapa real dan diberikan kepada sang peminta. Lelaki tua itu segera pergi dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Tuan Amali memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia mulai yakin dengan lelaki meminta-minta itu.

“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.

Dari jarak yang agak jauh lelaki yang diserunya tadi menoleh. Dia mencari-cari siapa yang memanggil namanya. Tuan Amali tidak memberi reaksi apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali. Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil, penduduknya sendiri yang tahun ini juga menunaikan ibadah haji. Seperti kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil sendiri juga bekerja sebagai pengemis yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo. Tahun ini dia naik haji ikut rombongan kota lain agar bisa serombongan dengan saudaranya. Diselah-selah ibadah yang dilakukannya di kota ini ternyata Pak Dotil memanfaatkannya juga untuk mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis juga bagian dari ibadah karena “rezeki di tangan Allah”.

Cuaca makin panas. Debu-debu tersaruk kaki para pejalan hingga kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali berjalan mempercepat langkahnya meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia ingin segera berbicara dengan Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama diingat oleh Tuan Amali muncul kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya akan didera dengan kemiskinan. Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan merasa tetap miskin sehingga menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan Amali yakin seyakin-yakinnya, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.

Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2014       

 

Sumber: https://adhidreamtoparis.blogspot.com/2014/12/di-jalan-jabalal-kaabah-oleh-m.html

 

Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen

Cerpen dengan judul Di Jalan Jabal Al-Kaabah menggunakan sudut pandang orang ketiga. Latar tempatnya yaitu di jalan Jabal Al-Kaabah, Umm Al-Qura Road, terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road, di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid, di depan Al Hadeel Hotel, dan di depan pertokoan. Latar waktunya yaitu pagi hari, siang hari, dan sore menjelang malam. Alur yang digunakan pada cerpen tersebut yaitu alur campuran. Tokoh utamanya adalah Tuan Amali. Tokoh lainnya yaitu istri Tuan Amali yaitu Nyonya Tilah, Pak Mardho adalah perangkat desa, perempuan bercadar, pengemis, lelaki berkopyah coklat, dan Pak Dotil tetangga Tuan Amali di kampung. Cerpen di atas dibuat pada tanggal 13 Juli 2014.

Isi yang Terkandung dalam Cerpen

Cerpen dengan judul Di Jalan Jabal Al-Kaabah menceritakan tentang pengalaman tuan amali selama berada di tanah suci. Ia bersama istrinya sedang menjalankan ibadah haji. Di dalam perjalana menuju ke Ka’bah, ia bertemu dengan para pengemis. Awalnya Tuan Amali dengan istrinya tidak mencurigai pengemis tersebut. Keduanya pun memberikan sedekah kepada mereka. Pak Mardho meminta kepada Tuan Amali didoakan supaya diberikan kesembuhan dan segera mendapatkan jodoh supaya tidak lama menduda. Pak Mardho juga meminta didoakan supaya anaknya segera lulus kuliah dan mendapatlkan pekerjaan yang mapan. Tuan Amali pun mendoakannya. Ia juga mendoakan penduduk di desanya dan tida lupa mendoakan dirinya sendiri dan keluarganya.

Pada saat di depan hotel, tuan amali terkejut mengetahui kebenarannya. Ia  melihat ada seseorang yang sedang memotret pengemis. Akan tetapi, dihalangi oleh wanita bercadar. Wanita bercadar tersebut adalah orang yang memperkerjakan para pengemis. Ternyata para pengemis tersebut hanya berpura-pura meminta-minta agar dikasihani. Tuan amali pun tidak tinggal diam. Ia mencoba membuktikan sendiri. Namun, ia dihalangi oleh lelaki berkopyah coklat. Kemudian, Tuan Amali adu mulut dengan pria tersebut.

Tiba di depan pertokoan, Tuan Amali melihat lelai tua yang ia duga adalah Pak Dotil, tetangganya. Ternyata, Pak Dotil juga mengemis di sela-sela ibadah hajinya. Di desanya, Tuan Amali adalah seorang kepala desa. Ia sering dijuluki sebagai lurahnya pengemis karena kebanyakan penduduk di desanya berprofesi sebagai pengemis. Selain itu, desanya juga disebut sebagai desa pengemis. Tuan Amali dan perangkatnya dianggap gagal dalam memimpin desa.

Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen

Makna dan pesan yang ingin disampaikan dari cerpen yang berjudul Di Jalan Jabal Al-Kaabah kepada pembaca adalah.

1.    Apabila masih diberikan kesehatan, bekerjalah dengan jujur, tanpa membohongi orang lain.

2.    Jangan memanfaatkan orang lain demi keuntungan diri sendiri.

3.    Kepada pemerintah, untuk lebih memperhatikan masa depan anak muda dengan memberikan lapangan pekerjaan.

Perbandingan dengan Aktual

Cerpen yang berjudul Di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar masih sesuai dengan keadaan sekarang. Kesesuaikan itu tampak, karena pada kehidupan saat ini juga ditemukan banyak pengemis yang ada di pinggir jalan. Terlebih di lampu merah, di kota-kota besar, seperti Kota Surabaya dan Kota Jakarta. Sebagian dari mereka berlaku tidak jujur dalam bekerja. Mereka memanfaatkan rasa kasihan orang lain untuk memperoleh keuntungan. Mereka berpura-pura sakit untuk mendapatkan belas kasihan. Anak-anak balita pun kadang di ajak untuk mengemis. Jika bertanya tentang alasan mereka, jawabannya pasti karena terpaksa. Padahal, jika diperhatikan kebanyakan dari mereka masih muda. Masih banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan. Namun, dibalik itu semua ada orang yang memanfaatkan mereka, yang menyuruh mereka untuk mengemis. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang orang tua mereka sendiri yang menyuruh mereka mengemis. Ada pula orang asing yang menculik anak kecil untuk dipekerjakan sebagai pengemis. Kejadian tersebut banyak beredar di berita.

Sebagai pemerintah yang bertanggungjawab, seharusnya lapangan pekerjaan lebih diperbanyak lagi. Selain itu, kualitas pendidikan juga lebih diperhatikan lagi agar masa depan anak-anak tidak berakhir seperti dalam cerpen di atas yaitu sebagai orang yang meminta-minta atau pengemis.