SULASTRI DAN EMPAT LELAKI
Karya M. Shoim Anwar
LAUT menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga. Ini
adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak
di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada
peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang
menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri
kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti
kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan
Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau
angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman
hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.
Sementara tak jauh di sebelah
utara sana terlihat sekelompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma.
Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke
arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir
permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya.
Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan,
lantas kembali ke tempat semula.
Perempuan itu masih juga berdiri
di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia
menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh
dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada
bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat
dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah
pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu
kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melihat ke
bawah.
“Hai…!” seru polisi dari arah
pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak menjawab. Tampak ada
sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya
diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
“Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,”
kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
“Sulatsriy…?” sang polisi
menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
“Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?”
sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu
tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar
Sulastri turun dari tanggul.
“Na’am?” lelaki itu meminta.
“Laa,” Sulastri menggeleng
pelan.
Permintaan diulang beberapa kali.
Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran.
Raut wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju
patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu.
Terdengar dia menyeru kembali. Muncul kekhawatiran pada diri Sulastri. Ketika
polisi itu hampir sampai di atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin
cepat dan cepat. Sang polisi mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya
tampak seperti berkejaran. Sesampai di ujung, Sulastri menyelinap kembali pada
area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.
Sulastri tahu, polisi tak akan
menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik.
Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga
teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan
dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang
setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang
bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar
menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu
real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya
untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke
kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan
mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan
tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari
negeri Sulastri sendiri.
Cuaca makin panas. Laut Merah
tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Hamparan pasir mendidih,
meliuk-liuk di permukannya. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan
sampah bergerak menjauhi pantai. Di ujung tanggul Sulastri kembali berdiri.
Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan.
Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak
makin tebal.
Di bibir Laut Merah,
Sulastri teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal
Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang
dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan
kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun
mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam, suami Sulastri. Suatu kali
Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo.
“Sudah dapat?” tanya Sulastri.
Seperti biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya
memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari
pakainnya yang basah.
“Tanam tembakau di tepi bengawan
makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus.
Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
Kesabaran Sulastri mengikis. Kali
ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku
yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh ujung
janggut.
“Kau bukan Siddhartha, sang
pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan.
Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan
kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
Markam hanya menjulingkan bola
matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali
menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk
kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya
bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah
berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam.
Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai
hingga kini.
Bayangan tentang sang suami
menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan
bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang tiba-tiba datang. Laut
Merah bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan.
Makin lama makin besar. Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah.
Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari
dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
“Firauuun…!”
Ya, Firaun. Lelaki bertubuh
gempal itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak,
matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan
pakaian gemerlap yang menutup pusar hingga lutut Firaun telah sampai di atas
tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan. Di
hadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok.
Perempuan itu menoleh ke sana ke mari dengan tergesa, mencari-cari orang yang
dikenal sebagai penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri berteriak padanya
untuk minta tolong. Tapi sang polisi tak memberi reaksi berarti, dia hanya
melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kemudian
kembali masuk pos.
“Tak usah takut hai, Budak!” kata
Firaun.
“Aku bukan budak.…”
“Ooo…siapa yang telah membayar
untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
Sulastri tak menjawab. Dia terus
melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan
lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah
dan berlari.
“Hai, jangan berlari! Kau datang
ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke
hadapanku!”
Sulastri terus berlari. Firaun
melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam
terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh
raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak
menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga
pantai sudah pasti tak menolongnya. Sementara Firaun melejit makin garang.
Sulastri meloncat dari atas tanggul.
Sulastri terhenyak. Di depannya
muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar,
berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga
lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan
kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut
nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa….”
Lelaki itu manggut-manggut.
Tangan kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdiri
kokoh di atas tanggul. Angin bergolak di sana.
“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta
Sulastri.
“Kau masuk ke negeri ini secara
haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
“Saya ditelantarkan suami, Ya
Musa.”
“Suamimu seorang penyembah
berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya seorang perempuan, Ya
Musa.”
“Perempuan atau laki diwajibkan
mengubah nasibnya sendiri.”
“Negeri kami miskin, Ya Musa.”
“Kekayaan negerimu melimpah ruah.
Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
“Kami tidak punya pekerjaan, Ya
Musa.”
“Apa bukan kalian yang malas
hingga suka jalan pintas?”
“Kami menderita, Ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu serakah.”
“Kami tak kebagian, Ya Musa”
“Mereka telah menjarah kekayaan
negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
“Kami tak memperoleh keadilan, Ya
Musa.”
“Di negerimu keadilan telah jadi
slogan.”
“Tolonglah saya, Ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu juga tak
bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan
barang dagangan yang murah.”
“Tolonglah saya, Ya Musa….”
Sontak angin datang bergemuruh.
Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dalam pandangan Sulastri. Dari
atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari
kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih
berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
“Wa maadzaa turiidiina aidlon?”
polisi bertanya apa lagi yang diinginkan Sulastri.
“Tolong… tolonglah saya.…”
Polisi menggeleng-geleng sambil
menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari
menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung.
Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah benar-benar di belakang
Sulastri. Dan Firaun memang sudah hampir menangkapnya. Tangan
Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan
tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hapir
putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak
dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya.
Saat Sulastri oleng dan kehabisan
nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di
hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan
memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun.
Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan
nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua
tangannya.
Angin bertiup amat kencang
mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada
kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun
menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh
Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping
di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri.
Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut
Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan
tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara
gemuruh. Makin jauh dan jauh.
Sulastri mendapati dirinya
bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia
bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut
luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh
dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya
melengking ke telinga Sulastri. (*)
.
.
Laut Merah – Surabaya, 2009- 2011
Sumber
: https://lakonhidup.com/2011/12/05/sulastri-dan-empat-lelaki/
Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen
Cerpen dengan
judul Sulastri dan Empat Lelaki menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tokoh
utamanya yaitu Sulastri, sedangkan empat lelaki yang dimaksud adalah polisi,
Markan (suami Sulastri), Musa, dan
Firaun. Latar tempat pada cerpen di atas yaitu di tanggul, di bibir atau tepi Laut
Merah, dan di padang pasir. Alur yang digunakan yaitu alur campuran. Hal ini
terlihat ketika di tengah cerita, Sulatri berada di bibir Laut Merah mengingat
atau membayangkan tentang suaminya, Markam. Lalu, cerita kembali dilanjutkan
dengan bertemunya Sulatri dengan Firaun. Latar waktu yang digunakan yaitu siang
hari. Hal ini terbukti pada kutipan “Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau
memantulkan sinar matahari.“ dan “Butir-butir pasir digoreng Matahari.”
Kemudian, suasana yang ditampilkan dalam cerpen di atas adalah suasana
mendebarkan atu mencekam yang nampak ketika Sulastri dikejar Firaun dan
ketika Sulastri takut di tangkap oleh
polisi.
Berbeda dengan cerpen-cerpen yang saya kritik sebelumnya. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar ini sering kali menggunakan kata-kata kias. Banyak majas didalamnya salah satunya adalah majas hiperbola. Penggunaan gaya bahasa membuat cerpen ini menjadi lebih hidup dan lebih menarik untuk dinikmati oleh pembaca. Pembaca seolah-olah ikut serta dalam cerita tersebut, seakan ikut merasakan kejadian yang ada dalam cerpen tersebut. Contoh gaya bahasa yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
Butir-butir pasir digoreng matahari.
Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh
dalam kehampaan.
Sendi-sendinya seperti hendak rontok.
Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya.
Dengan latar di
Arab sana, isi cerpen Sulastri dan Empat Lelaki mengingatkan tentang kisah
seorang nabi pada waktu itu. Cerpen ini dibuat oleh M. Shoim Anwar pada tahun
2009 sampai 2011 di kota Surabaya.
Isi yang Terkandung dalam Cerpen
Cerpen dengan
judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mengisahkan tentang Sulastri
yang sedang berada di Arab untuk bekerja. Suami Sulastri yaitu Markam kurang
bertanggungjawab terhadap dirinya dan anaknya. Markam justru mengabdikan
hidupnya untuk bertapa di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Ketika
Sulastri berada diujung tanggul, ia dipanggil oleh seorang polisi. Namun,
Sulastri tidak menghiraukannya. Sulastri takut ditangkap dan di deportasi
seperti teman-temannya, yang kemudian menjadi gelandangan. Sulastri dan Polisi
sempat kejar-kejaran. Tetapi, Sulastri tidak kehilangan akal. Ia bersembunyi
dibalik patung-patung abstrak. Hingga akhirnya, polisi tersebut kembali ke pos.
Sulastri adalah
orang biasa. Kekecewaan Sulastri terhadap perlakuan suaminya terhadap dirinya
dan anaknya masih ia ingat. Namun, tiba-tiba datanglah Firaun yang ingin
menjadikan Sulastri sebagai budaknya. Kemudian, Musa datang menyelamatkan
dirinya. Musa berpesan agar dirinya dan suaminya bekerja dengan halal dan tidak
melakukan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan yaitu dengan menyembah
berhala. Seketika Musa menghilang. Sulastri nampak ketakutan dan minta tolong
kepada polisi tadi. Namun, Firaun terus mengejar Sulastri hingga rambutnya
dijambak dari belakang. Lau, Musa muncul kembali dan membantu Sulastri.
Sulastri memukulkan tongkat yang diberikan Musa tersebut ke tubuh Firaun.
Hingga pada akhirnya tubuh Firaun berubah menjadi pasir dan tenggelam. Sulastri
pun tersadar bahwa tongkat yang ia pegang tidak ada.
Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen
Makna dan pesan
yang ingin disampaikan kepada pembaca pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya
M. Shoim Anwar yaitu:
1.
Bekerjalah
dengan cara yang halal.
2.
Janganlah
menyebah berhala, karena yang patut disembah hanya Allah SWT.
3.
Bersyukurlah
atas apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
4.
Jadilah seorang
suami yang bertanggungjawab atas kewajiban dalam menghidupi istri dan anak.
5.
Untuk
pemerintah, buktikan janjimu kepada rakyat ketika sebelum menjabat. Jangan
hanya demi kekuasaan saja sehingga menyengsarakan masyakarat yang terlanjur
percaya.
Perbandingan dengan Aktual
Cerpen dengan
judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai
dengan kehidupan saat ini. Percaya atau tidak percaya, di zaman yang serba
modern seperti saat ini, masih banyak orang yang bekerja dengan cara yang tidak
baik atau tidak halal dengan melakukan berbagai cara. Salah satunya dengan
menyembah setan untuk mendapatkan kekayaan. Hal itu dilakukan semata-mata demi menjaga
harga dirinya di depan orang lain agar tidak dihina sebagai orang miskin. Mereka
kurang mensyukuri apa yang mereka dapatkan. Bahkan, ada pula yang mengorbankan
anggota keluarga mereka sebagai tumbal demi kelancaran dalam mendapatkan yang
mereka inginkan. Kelakuan ini tidak patut untuk ditiru. Masih banyak pekerjaan
yang dapat dikerjakan selagi kita mau berusaha. Tuhan menciptakan semua yang
ada di bumi untuk kita manfaatkan sebaik mungkin.
Kemudian, untuk
suami yang kurang bertanggungjawab seperti Markam, juga masih sesuai dengan
kehidupan saat ini. Sering kali rumah tangga berakhir hanya karena masalah
ekonomi. Ketika seorang istri berniat membantu perekonomian keluarga, sering
kali dimanfaatkan oleh suami. Hingga membuat suami lupa akan tanggungjawabnya
sebagai kelapa keluarga yaitu menghidupi istrinya dan anaknya. Selanjutnya,
lagi-lagi untuk pemerintah yang masih sesuai dengan kejadian saat ini. Ada
beberapa pejabat yang hanya janji-janji saja saat pemilu untuk mendapatkan
suara yang banyak dari rakyat. Namun, ketika rakyat memilihnya dan telah
mempercayainya, mereka justru lupa dengan tanggungjawabnya, lupa dengan
janjinya. Hal ini nampak seperti kasus-kasus korupsi yang selalu terjadi.
Mereka sibuk memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya sendiri.
Hubungan Cerpen dengan Berbagai Masalah
Jika diperhatikan, cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki
karya M. Shoim Anwar mempunyai hubungan dengan berbagai masalah berikut ini.
a.
Ideologi
dan Religi
Ideologi
adalah cara berpikir yang dijadikan pendapat untuk memberikan arah dan tujuan
untuk kelangsungan hidup. Sedangkan religi adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Hubungan
dengan masalah ideologi yang bercampur dengan unsur religi nampak pada kutipan
cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
Kutipan Pertama
“Kau bukan Siddhartha, sang
pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan.
Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan
kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
Markam hanya menjulingkan bola
matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali
menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk
kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya
bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah
berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam.
Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai
hingga kini.
Kutipan cerpen di atas menjelaskan tentang kepercayaan yang di anut
suami Sulastri yaitu Markam. Markam mengabdikan hidupnya di kuburan demi
mendapatkan benda-benda pusaka. Hal tersebut dijadikan Markam sebagai ideologi dalam
menjalankan kelangsungan hidupnya. Namun, cara berpikir Markam sangatlah salah.
Sulastri sudah mengingatkan Markam. Tetapi, ucapan Sulastri tidak dihiraukan. Bahkan,
Markam rela menghanyutkan diri hingga Tegal Rejo untuk bertapa. Markam meninggalkan
Sulastri dan anaknya. Tindakan Markam tersebut juga termasuk dalam unsur
religi. Dimana Markam lebih percaya dengan benda mati seperti kuburan dan
benda-benda pusaka dibandingkan dengan Tuhan. Yang artinya, Markam telah
menduakan Tuhan. Demi mendapatkan keuntungan dan merubah nasib hidupnya, Markam
rela bersekutu dengan setan.
Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dengan Firaun
seperti pada kutipan cerpen di bawah ini.
Kutipan Kedua
“Tak usah takut hai, Budak!” kata
Firaun.
“Aku bukan budak.…”
“Ooo…siapa yang telah membayar
untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
Sulastri tak menjawab. Dia terus
melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan
lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah
dan berlari.
“Hai, jangan berlari! Kau datang
ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke
hadapanku!”
Pada kutipan percakapan di atas, menceritakan bahwa Firaun ingin
menangkap Sulastri. Firaun menganggap Sulastri sebagai budaknya. Hal ini
terjadi bukan tidak ada sebab. Firaun datang karena kelakuan Sulastri dan suaminya
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan seperti mengabdikan
diri ke makam untuk mendapatakan benda-benda pusaka dan bersemedi di sungai. Peristiwa
yang dialami Sulastri tersebut adalah sebagai akibat kelakuannya pada kutipan
pertama. Lalu datanglah Musa yang berdialog dengan Sulastri pada kutipan di
bawah ini.
Kutipan Ketiga
“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta
Sulastri.
“Kau masuk ke negeri ini secara
haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
“Saya ditelantarkan suami, Ya
Musa.”
“Suamimu seorang penyembah
berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya seorang perempuan, Ya
Musa.”
“Perempuan atau laki diwajibkan
mengubah nasibnya sendiri.”
“Negeri kami miskin, Ya Musa.”
“Kekayaan negerimu melimpah ruah.
Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
“Kami tidak punya pekerjaan, Ya
Musa.”
“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
“Kami menderita, Ya Musa.”
Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dan Musa di
atas. Dialog tersebut masih berhubungan dengan kutipan kedua. Dalam dialog
tersebut, menceritakan bahwa Sulastri meminta tolong kepada Musa ketika dirinya
dikejar Firaun. Musa mengatakan bahwa Sulastri telah masuk ke Arab dalam keadaan
tidak baik yaitu karena kelakuannya dengan suaminya saat berada di negaranya,
yang dijelaskan pada kutipan pertama. Musa mengingatkan agar Sulastri tidak
bergantung pada suaminya karena suaminya penyembah berhala atau musrik, tidak
percaya kepada Tuhan. Namun, Sulastri membela diri dengan mengatakan dirinya
hanyalah seorang perempuan. Musa pun berkata bahwa mau perempuan atau laki-laki
mempunyai kewajiban untuk mengubah nasibnya sendiri. Akan tetapi, Sulastri
tetap membela diri dengan berkata negaranya miskin. Kemudian, Musa menjawab bahwa
negara tempat Sulastri tinggal itu kaya. Lalu, Sulastri mengatakan dirinya
tidak punya pekerjaan. Hal itu terjadi karena malas dan menyukai jalan pintas,
begitu kata Musa. Percakapan Sulastri dengan Musa sebenarnya mempunyai makna
yaitu kita sebagai manusia haruslah berusaha dan tidak bermalas-malasan. Bekerjalah
dengan cara yang jujur, dengan cara yang diridhoi oleh Tuhan. Jangan memperkaya
diri dengan mencari jalan pintas seperti menyembah berhala dan bertapa yang
dilaukan oleh Markam.
b.
Politik
Politik adalah segala tindakan yang dilakukan seperti kebijakan oleh pemerintah negara atau terhadap negara lain. Hubungan dengan masalah politik nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
Kutipan
Keempat
Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.
Pada kutipan cerpen di atas, dijelaskan bahwa polisi juga bekerja sama dengan para perantara. Polisi tidak mungkin menangkap Sulastri untuk diserahkan kepada kedutaan untuk dideportasi karena ia hanya seorang diri. Para perantaralah yang bertugas menyerakan kepada polisi dengan imbalan seribu real per orang, sehingga polisi mendapat untung setidaknya tujuh ratus real per orang dan sisanya untuk diberikan kepada para perantara. Yang lebih buruk lagi, jika para perantara tersebut juga dari negara yang sama dengan Sulastri. Kejadian dalam kutipan cerpen tersebut termasuk ke dalam unsur politik. Dimana terjadi suatu transaksi disana. Polisi menjalankan tugasnya dengan syarat ada imbalan diluar gaji yang telah mereka terima dari pemerintah. Tindakan polisi tersebut tidaklah jujur dan membuat mereka yang bekerja di luar negeri seperti Sulastri menjadi serba kesulitan dan sengsara. Terlebih seperti yang dialami oleh teman-teman Sulastri yang hidup menggelandang.
c.
Sosial
Sosial
adalah sikap memperhatikan kepentingan umum, seperti menolong dan bersedekah. Hubungan
dengan masalah sosial nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di
bawah ini.
Kutipan Kelima
Saat Sulastri oleng dan kehabisan
nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di
hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan
memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun.
Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan
nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua
tangannya.
Angin bertiup amat kencang
mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada
kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun
menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh
Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping
di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri.
Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut
Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan
tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara
gemuruh. Makin jauh dan jauh.
Pada kutipan cerpen di atas menceritakan bahwa Musa menolong
Sulastri saat Sulastri dikejar Firaun seperti pada kutipan kedua. Sikap tolong-menolong
yang ditunjukkan Musa tersebut terhadap Sulastri termasuk ke dalam unsur
sosial. Musa memberikan tongkat kepada Sulastri. Tongkat tersebut memberikan
kekuatan kepada Sulastri. Sulastri pun memukulkan tongkat tersebut ke badan
Firaun ketika Firaun akan menerkam dirinya. Seketika Firaun berubah menjadi
pasir dan tubuh Firaun tersedot. Kemudian, tongkat tersebut pun menghilang.