Mengenai Penulis

Foto saya
Nama saya Farida Febriani. Saya lahir di Gresik pada tanggal 21 Februari 2021. Saat ini, saya menempuh S1 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Adibuana Surabaya. Saya tinggal di Gresik Selatan, tepatnya di Kecamatan Kedamean.

KRITIK CERPEN "DI JALAN JABAL AL-KAABAH"


.

 

DI JALAN JABAL AL-KAABAH

Oleh M. Shoim Anwar

Dari arah Jarwal Al-Tayssir kendaraan itu meluncur mendahului para pejalan kaki yang semakin ramai, melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus ke Umm Al-Qura Road. Jalanan menanjak dan beberapa saat kemudian menurun kembali. Suasana mulai terasa berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan itu lantas berbalik arah, menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan penumpang di pemberhentian. Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan yang datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan tinggi terasa menggetarkan seluruh ruang.

Setelah turun dari angkutan umum, dengan langkah tergesa, Tuan Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah, setengah berlari mengikuti langkah sang suami. Orang-orang pun terburu mengejar waktu. Eskalator itu naik dan menyembul di pelataran sehingga orang-orang tampak seperti muncul dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah sampai di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat pintu samping mereka lantas naik ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66 bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper dipenuhi orang, tapi suasana khusuk sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak sambil pandangannya menerawang.

“Aku teringat anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan sana,” katanya sambil menuding ke arah jalan.

“Ya, sudah agak lama kita tidak memberi mereka,” Nyonya Tilah menimpali.

“Besok kita sempatkan jalan kaki agar bisa memberi.”

“Semoga Allah selalu memberi rezeki buat mereka semua.”

“Siapa tahu mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menguji rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.

Hari-hari terakhir ini Tuan Amali dan Nyonya Tilah naik kendaraan untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka selalu berjalan kaki saat pulang dan pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu melihat deretan anak-anak berkulit hitam duduk di tanah sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda meminta sedekah. Dengan baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan buntungnya agar dilihat semua orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul selepas Jalan Jabal Al-Kaabah hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi memelas mereka mengharap belas kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan Amali berpikir anak-anak yang malang itu adalah korban peperangan, atau terkena ledakan bom hingga kedua lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita kelainan genetis akibat pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul secara dominan dari bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun perempuan, sekitar sepuluh tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan sekitar lima anak.

Seperti orang-orang lain Tuan Amali dan Nyonya Tilah juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak buntung yang malang itu. Uang sedekah diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka memperoleh jumlah yang besar karena banyak orang mengasihani dari hari ke hari. Tuan Amali dan istrinya bersedekah dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan ke kota itu juga untuk menjalankan perintah agama. Sedekah yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan memberi dan tangan kiri tak mengetahuinya.

“Jangan lupa titipan doa dari Pak Mardho,” kata Nyonya Tilah.

“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk, ingat pesan Pak Mardho yang minta didoakan di lantai teratas masjid ini sambil menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya. Anak perempuannya, si Ayu, semoga segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan dan jodoh yang mapan. Sudah beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di atas kertas itu dibaca oleh Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi bawahan Tuan Amali, Pak Mardho juga minta didoakan agar tidak terlalu lama menduda. Dua hari sebelum berangkat Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak Mardho, bapaknya atau anaknya yang diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah si Ayu selama ini ke mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri? Waktu diundang berbuka puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena ada syukuran di rumah sepupunya itu?

“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di tangan Allah,” jawab Pak Mardho.

“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan Amali menimpali sambil tertawa.

“Doakan juga agar pemikiran penduduk kita berubah.”

Kata-kata “rezeki di tangan Allah” itulah yang hampir selalu menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa yang bukan penduduk asli di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya selalu gagal untuk mengubah jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,” rezeki di tangan Allah”, maka ketika tangan mereka menadah dan orang lain mengulurkan tangannya untuk memberi adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”. Pagi-pagi mereka menyebar ke berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan kumal agar menimbulkan belas kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.

Mereka yang mengemis secara berkelompok akan membagi penghasilan mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka juga bersepakat membagi secara merata penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa hidup, buat rumah, beli sawah, beli ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari hasil mengemis. Mereka ada yang mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras suara untuk berkeliling dari kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan tempat-tempat ramai dengan menyodorkan kaleng, serta ada pula yang mencegat di jalan-jalan. Juga ada di antara mereka yang mengemis memakai surat atau proposal yang terlaminating hingga kumal. Di mata para kepala desa yang lain, karena desanya dikenal sebagai ”desa pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki sebagai “lurahnya pengemis”.

Tuan Amali dan istrinya telah menunaikan salat sunah beberapa kali. Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali memanjatkan doa untuk diri dan keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir untuk penduduknya di kampung halaman sana.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tidak akan mengubah nasib suatu kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Untuk itu ya Allah, hamba memohon kepada-Mu agar membuka hati dan sifat peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup dan penghidupan yang lebih terhormat….”

Di saat Tuan Amali khusuk berdoa, helikopter itu datang kembali, berputar-putar dengan dengan suara menderu. Setiap kali melintas di atas kepala, orang yang duduk bersila melihatnya dengan pandangan menyerah, seperti menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak menentukan nasib mereka selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil Haram ini langit memamang selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak ubahnya penguasa tunggal yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di bawahnya. Ketika heli itu menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan khusyuk, melafalkan ayat-ayat dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih tersisa di telinga. Sebentar lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali beberapa saat kemudian.

Matahari condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan sabit sudah tampak merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di balik tiga buah kubah warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah memanfaatkannya dari sengatan matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan jangkung di sekeliling semakin jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu di ujung tiang akan segera menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru dari pengeras suara di tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam menggema ke langit bersama embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Sang Pencipta.

Jalan Jabal Al-Kaabah adalah wilayah yang sangat ramai karena merupakan akses mendekati masjid. Hari ini Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di depan Al Hadeel Hotel, di saat situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat seseorang memotret salah satu anak buntung yang meminta-minta. Tiba-tiba seorang perempuan bercadar hitam menghalangi pemotretan itu. Maksudnya sangat jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang bilang perempuan bercadar itulah yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk meminta-minta. Keganjilan lain segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat mendekati salah satu anak dan meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher. Dengan cepat pakaian anak itu ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan mereka. Ternyata lengan anak-anak itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas pergelangan lantas dimasukkan ke dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan ujungnya saja karena takut ketahuan lekuk lengannya yang disembunyikan.

Mengetahui kejadian itu tiba-tiba Tuan Amali merasa perlu bertindak lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak itu sudah menipu orang banyak. Ini adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh dibiarkan di depan mata. Dengan agak kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian salah satu anak yang pura-pura bunting itu. Si anak menolak. Mungkin karena jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong dan ditebah dengan sajadah. Perempuan bercadar yang memperalat si anak tampak segera mendekat. Tapi seorang lelaki lain berkopiah cokelat dengan nada bersemangat mencoba membela si anak.

“Apa urusanmu dengan dia?” katanya dengan nada tinggi, mimiknya tampak serius.

“Mereka telah mengotori tanah suci!” jawab Tuan Amali tak kalah sengit.

“Mereka tidak memaksa. Tidak ada yang dirugikan. Kalau kamu tidak mau memberi ya sudah!”

“Niat saya hanya satu, menyingkap kebohongan terhadap orang banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan dalam kerumunan. Beberapa orang melihat ke arah mereka secara bergantian.

“Meminta-minta adalah urusan pribadi!”

“Tapi meminta-minta dengan cara menipu tidak bisa dibenarkan.”

“Mereka anak-anak yang miskin!” lelaki berkopiah coklat itu menuding-nuding ke belakang.

“Anak-anak itu mungkin tidak miskin. Mereka diperalat oleh perempuan tadi!”

“Mengapa kamu tidak berani bilang begitu sama dia?”

“Omongan sudah tidak mempan buat dia, tapi harus dengan tangan kita.”

“Kamu tidak punya hak!”

“Ini juga salah satu cara yang saya tempuh. Memang pahit, tapi harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!” tegas Tuan Amali.

“Kamu harus bisa mengendalikan kesabaran di sini.”

“Kesabaran bukan berarti diam ketika melihat kejahatan!”

Tuan Amali dan lelaki berkopiah coklay it uterus beradu mulut sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling melihat. Jarak mereka merenggang karena didesak orang-orang yang berjalan. Sesekali nada suaranya terdengar ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah tidak saling melihat wajah masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar hingga menjauh sebelum pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.

Sementara itu anak-anak yang pura-pura buntung itu tetap duduk di tempat. Sesekali mereka melihat ke sekeliling untuk mengetahui apakah ada polisi pamong praja atau tidak. Memang polisi kadang-kadang mengobrak mereka, tapi mereka segera bereaksi kembali ketika polisi telah menjauh. Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi rupanya hanya gertak sambal, tidak pernah menangkap dan menangani dengan serius.

Tuan Amali berhenti di depan pertokoan yang mempertemukan Jalan Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim. Sinar matahari menyengat. Sajadah yang dibawanya dipakai untuk menutup kepala. Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak tidak silau. Terasa ada keringat mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi tindakannya tadi hingga bertengkar mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan Amali menimbang-nimbang, dia tetap yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus dipertahankan kesuciannya. Beberapa saat dia tercenung di antara orang-orang yang lalu lalang di depannya. Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu ramai.

Tiba-tiba Tuan Amali terkejut. Seorang lelaki tua bersongkok hitam menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Tuan Amali ingin menyebut nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa bimbang. Dirogohnya saku kanan untuk mengambil beberapa real dan diberikan kepada sang peminta. Lelaki tua itu segera pergi dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Tuan Amali memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia mulai yakin dengan lelaki meminta-minta itu.

“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.

Dari jarak yang agak jauh lelaki yang diserunya tadi menoleh. Dia mencari-cari siapa yang memanggil namanya. Tuan Amali tidak memberi reaksi apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali. Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil, penduduknya sendiri yang tahun ini juga menunaikan ibadah haji. Seperti kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil sendiri juga bekerja sebagai pengemis yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo. Tahun ini dia naik haji ikut rombongan kota lain agar bisa serombongan dengan saudaranya. Diselah-selah ibadah yang dilakukannya di kota ini ternyata Pak Dotil memanfaatkannya juga untuk mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis juga bagian dari ibadah karena “rezeki di tangan Allah”.

Cuaca makin panas. Debu-debu tersaruk kaki para pejalan hingga kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali berjalan mempercepat langkahnya meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia ingin segera berbicara dengan Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama diingat oleh Tuan Amali muncul kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya akan didera dengan kemiskinan. Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan merasa tetap miskin sehingga menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan Amali yakin seyakin-yakinnya, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.

Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2014       

 

Sumber: https://adhidreamtoparis.blogspot.com/2014/12/di-jalan-jabalal-kaabah-oleh-m.html

 

Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen

Cerpen dengan judul Di Jalan Jabal Al-Kaabah menggunakan sudut pandang orang ketiga. Latar tempatnya yaitu di jalan Jabal Al-Kaabah, Umm Al-Qura Road, terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road, di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid, di depan Al Hadeel Hotel, dan di depan pertokoan. Latar waktunya yaitu pagi hari, siang hari, dan sore menjelang malam. Alur yang digunakan pada cerpen tersebut yaitu alur campuran. Tokoh utamanya adalah Tuan Amali. Tokoh lainnya yaitu istri Tuan Amali yaitu Nyonya Tilah, Pak Mardho adalah perangkat desa, perempuan bercadar, pengemis, lelaki berkopyah coklat, dan Pak Dotil tetangga Tuan Amali di kampung. Cerpen di atas dibuat pada tanggal 13 Juli 2014.

Isi yang Terkandung dalam Cerpen

Cerpen dengan judul Di Jalan Jabal Al-Kaabah menceritakan tentang pengalaman tuan amali selama berada di tanah suci. Ia bersama istrinya sedang menjalankan ibadah haji. Di dalam perjalana menuju ke Ka’bah, ia bertemu dengan para pengemis. Awalnya Tuan Amali dengan istrinya tidak mencurigai pengemis tersebut. Keduanya pun memberikan sedekah kepada mereka. Pak Mardho meminta kepada Tuan Amali didoakan supaya diberikan kesembuhan dan segera mendapatkan jodoh supaya tidak lama menduda. Pak Mardho juga meminta didoakan supaya anaknya segera lulus kuliah dan mendapatlkan pekerjaan yang mapan. Tuan Amali pun mendoakannya. Ia juga mendoakan penduduk di desanya dan tida lupa mendoakan dirinya sendiri dan keluarganya.

Pada saat di depan hotel, tuan amali terkejut mengetahui kebenarannya. Ia  melihat ada seseorang yang sedang memotret pengemis. Akan tetapi, dihalangi oleh wanita bercadar. Wanita bercadar tersebut adalah orang yang memperkerjakan para pengemis. Ternyata para pengemis tersebut hanya berpura-pura meminta-minta agar dikasihani. Tuan amali pun tidak tinggal diam. Ia mencoba membuktikan sendiri. Namun, ia dihalangi oleh lelaki berkopyah coklat. Kemudian, Tuan Amali adu mulut dengan pria tersebut.

Tiba di depan pertokoan, Tuan Amali melihat lelai tua yang ia duga adalah Pak Dotil, tetangganya. Ternyata, Pak Dotil juga mengemis di sela-sela ibadah hajinya. Di desanya, Tuan Amali adalah seorang kepala desa. Ia sering dijuluki sebagai lurahnya pengemis karena kebanyakan penduduk di desanya berprofesi sebagai pengemis. Selain itu, desanya juga disebut sebagai desa pengemis. Tuan Amali dan perangkatnya dianggap gagal dalam memimpin desa.

Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen

Makna dan pesan yang ingin disampaikan dari cerpen yang berjudul Di Jalan Jabal Al-Kaabah kepada pembaca adalah.

1.    Apabila masih diberikan kesehatan, bekerjalah dengan jujur, tanpa membohongi orang lain.

2.    Jangan memanfaatkan orang lain demi keuntungan diri sendiri.

3.    Kepada pemerintah, untuk lebih memperhatikan masa depan anak muda dengan memberikan lapangan pekerjaan.

Perbandingan dengan Aktual

Cerpen yang berjudul Di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar masih sesuai dengan keadaan sekarang. Kesesuaikan itu tampak, karena pada kehidupan saat ini juga ditemukan banyak pengemis yang ada di pinggir jalan. Terlebih di lampu merah, di kota-kota besar, seperti Kota Surabaya dan Kota Jakarta. Sebagian dari mereka berlaku tidak jujur dalam bekerja. Mereka memanfaatkan rasa kasihan orang lain untuk memperoleh keuntungan. Mereka berpura-pura sakit untuk mendapatkan belas kasihan. Anak-anak balita pun kadang di ajak untuk mengemis. Jika bertanya tentang alasan mereka, jawabannya pasti karena terpaksa. Padahal, jika diperhatikan kebanyakan dari mereka masih muda. Masih banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan. Namun, dibalik itu semua ada orang yang memanfaatkan mereka, yang menyuruh mereka untuk mengemis. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang orang tua mereka sendiri yang menyuruh mereka mengemis. Ada pula orang asing yang menculik anak kecil untuk dipekerjakan sebagai pengemis. Kejadian tersebut banyak beredar di berita.

Sebagai pemerintah yang bertanggungjawab, seharusnya lapangan pekerjaan lebih diperbanyak lagi. Selain itu, kualitas pendidikan juga lebih diperhatikan lagi agar masa depan anak-anak tidak berakhir seperti dalam cerpen di atas yaitu sebagai orang yang meminta-minta atau pengemis.

 

Your Reply